Indonesia Dorong Tata Kelola AI Kolaboratif di Forum BRICS
Menaker Yassierli tekankan pentingnya tata kelola AI yang kolaboratif dan adil di Forum BRICS, mengajak negara-negara BRICS untuk memperkuat kerja sama global dalam pengembangan AI yang inklusif dan berkelanjutan.

Menteri Ketenagakerjaan Indonesia, Yassierli, menyoroti pentingnya tata kelola kecerdasan buatan (AI) yang kolaboratif dan adil dalam Pertemuan Menteri Tenaga Kerja dan Ketenagakerjaan BRICS di Brasilia, Brasil, Sabtu lalu (waktu Indonesia).
Dalam pertemuan tersebut, beliau menyatakan bahwa AI bukan sekadar tren, melainkan kekuatan transformatif yang mengubah cara kerja dunia, termasuk di Indonesia. Beliau menambahkan, "AI telah mengubah industri dan mendefinisikan kembali keterampilan. Namun, dengan potensi yang begitu besar, transformasi ini harus dikelola dengan bijak dan inklusif."
Menurut Yassierli, AI menawarkan keuntungan dan tantangan. AI dapat meningkatkan efisiensi, produktivitas, penciptaan lapangan kerja, dan inovasi. Namun, tanpa tata kelola yang inklusif, AI dapat memperlebar kesenjangan keterampilan dan menghilangkan lapangan kerja. Beliau menegaskan, "Indonesia tidak melihat AI sebagai ancaman, melainkan sebagai kekuatan yang harus dimanfaatkan secara bertanggung jawab. Teknologi harus melayani kemanusiaan, bukan sebaliknya."
Pendekatan Berpusat pada Manusia dalam Adopsi AI
Indonesia memprioritaskan pendekatan yang berpusat pada manusia dalam adopsi AI untuk menciptakan peluang yang lebih luas, melindungi harkat dan martabat manusia, dan memperkuat keadilan sosial. Pendekatan ini diwujudkan melalui empat fokus utama.
Pertama, inklusi digital. Pemerintah memandang akses teknologi, infrastruktur, dan literasi digital sebagai hak dasar. "Indonesia berkomitmen untuk memastikan bahwa masyarakat pedesaan, pekerja informal, dan kelompok rentan tidak tertinggal dalam transformasi digital," jelas Yassierli.
Kedua, persiapan keterampilan. Untuk mengatasi kesenjangan keterampilan akibat kemajuan teknologi yang pesat, Indonesia mendorong modernisasi pelatihan vokasi melalui kemitraan industri dan pendidikan. Program pelatihan nasional dirancang untuk memanfaatkan AI secara efisien dan menjangkau lebih dari 280 juta warga negara. "Kami juga sedang membangun Pusat Produktivitas Nasional dengan AI sebagai tema strategis, baik sebagai subjek penelitian maupun alat untuk transformasi tenaga kerja," imbuhnya.
Ketiga, perlindungan sosial adaptif. Sistem perlindungan sosial harus mengakomodasi masa transisi pekerjaan. Program Asuransi Kehilangan Pekerjaan di Indonesia menjadi contoh nyata, karena menggabungkan dukungan pendapatan, pelatihan ulang, dan fasilitasi penempatan kerja kembali.
Keempat, dialog sosial yang inklusif. Partisipasi aktif pemerintah, pengusaha, dan pekerja sangat penting untuk merumuskan kebijakan dan kerangka kerja tata kelola AI yang adil dan bertanggung jawab.
Kerja Sama Global untuk Tata Kelola AI
Indonesia juga mengajak negara-negara BRICS untuk memperkuat kerja sama global, terutama dalam investasi keterampilan digital, pertukaran kebijakan ketenagakerjaan yang inklusif, kolaborasi tata kelola AI, dan promosi inovasi berbasis keadilan dan keberlanjutan.
Dengan menekankan pentingnya kolaborasi internasional dan pendekatan yang berpusat pada manusia, Indonesia berupaya memastikan bahwa transformasi digital yang digerakkan oleh AI memberikan manfaat bagi semua lapisan masyarakat dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.