Kebijakan Baru Transfer Narapidana Asing: Hemat Biaya Negara
Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan baru transfer narapidana asing untuk mengurangi beban negara, meningkatkan kerja sama internasional, dan meringankan lembaga pemasyarakatan, sekaligus meningkatkan citra Indonesia di mata internasional.
![Kebijakan Baru Transfer Narapidana Asing: Hemat Biaya Negara](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/03/220214.024-kebijakan-baru-transfer-narapidana-asing-hemat-biaya-negara-1.jpg)
Kebijakan transfer narapidana asing baru-baru ini menjadi sorotan publik. Inisiatif Presiden Prabowo Subianto ini diawali dengan pemulangan Mary Jane Veloso, terpidana mati kasus penyelundupan narkoba dari Filipina, kemudian lima terpidana kasus Bali Nine ke Australia. Rencana pemulangan Serge Areski Atlaoui, terpidana mati asal Prancis, juga termasuk dalam kebijakan ini.
Langkah ini memberikan beberapa keuntungan bagi Indonesia. Selain mengurangi beban biaya negara yang cukup signifikan, kebijakan ini juga memperkuat kerja sama internasional dan mengurangi kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan. Pemerintah menjalankan skema transfer narapidana melalui perjanjian bilateral, yaitu Mutual Legal Assistance (MLA) dalam bidang kriminal.
Indonesia bisa meminta pemulangan warga negara Indonesia dari Filipina, Australia, atau Prancis, dan negara-negara tersebut diwajibkan memenuhi permintaan tersebut. Ke depannya, kebijakan ini diharapkan diadopsi negara lain, khususnya Malaysia dan Arab Saudi, mengingat banyaknya warga Indonesia yang dihukum mati di kedua negara tersebut. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, berharap bisa bernegosiasi dengan pemerintah Malaysia dan Arab Saudi untuk menyelesaikan kasus warga negara Indonesia di luar negeri.
Repatriasi narapidana asing ini didasari pertimbangan kemanusiaan, mengingat hukuman mati yang dijatuhkan. PBB pun mencatat kebijakan ini. Setelah pemulangan Mary Jane dan lima narapidana Bali Nine, status Indonesia di mata PBB berubah dari 'negatif' menjadi 'netral'. Ini merupakan prestasi, mengingat Indonesia pernah berada di titik terendah penilaian PBB pada 2015, dikategorikan memiliki persidangan yang tidak adil.
Lebih lanjut, kebijakan transfer narapidana asing ini meringankan beban APBN. Pada 2023, APBN untuk kebutuhan narapidana mencapai sekitar Rp2 triliun (US$119 juta), belum termasuk biaya kesehatan, pendidikan, dan rekreasi. Dengan pemulangan narapidana asing, tanggung jawab pembiayaan beralih ke negara asal, mengurangi beban pemerintah Indonesia.
Kebijakan ini juga mengurangi kelebihan kapasitas penjara di Indonesia. Dengan kapasitas total 140.424 di 531 fasilitas, jumlah narapidana dan tahanan pada September 2024 mencapai 273.390 orang, kelebihan 132.966 orang (94,68 persen).
Dari perspektif diplomasi, kerangka hukum transfer narapidana antar negara dapat memperkuat kepercayaan antar negara. Teuku Rezasyah, pengamat Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, menilai negara maju dan demokratis lebih diuntungkan karena mengurangi tekanan internal untuk pertukaran narapidana. Dengan demikian, negara kaya menunjukkan toleransi terhadap tantangan pembangunan di negara berkembang. Asalkan proses transfer narapidana dilakukan dengan benar, kebijakan ini dapat dibenarkan.
Transfer narapidana diatur UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan UU Nomor 15 Tahun 2008 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik (MLA) dalam Perkara Pidana. Namun, transfer narapidana internasional belum diatur secara rinci. Oleh karena itu, perlu regulasi mekanisme transfer untuk memberikan kepastian hukum. Pemerintah sedang menyusun RUU tentang mekanisme transfer narapidana yang saat ini diproses di Kementerian Hukum dan HAM.
RUU tersebut mengatur persyaratan dan prosedur transfer, mekanisme pengajuan, prinsip double criminality, dan prosedur transfer narapidana ke dan dari Indonesia. Persyaratan transfer dibagi dua: transfer keluar dan masuk Indonesia. Untuk transfer keluar, narapidana harus warga negara negara pengirim dan penerima, mendapat persetujuan tertulis, dan persetujuan negara pengirim dan penerima, serta melampirkan dokumen kewarganegaraan, putusan pengadilan minimal sisa hukuman enam bulan, dan keterangan kesehatan dari otoritas negara pengirim. Persyaratan transfer masuk hampir sama, dengan tambahan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Dengan regulasi yang lebih rinci, posisi hukum Indonesia akan diperkuat dan meningkatkan citra di dunia.