Keuntungan Pemulangan Narapidana Asing bagi Indonesia
Kebijakan pemulangan narapidana asing memberikan keuntungan bagi Indonesia, termasuk penghematan biaya negara, peningkatan kerja sama internasional, dan pengurangan beban lembaga pemasyarakatan.

Pemerintah Indonesia gencar memulangkan narapidana asing ke negara asal mereka. Kebijakan ini, yang dimulai dengan pemulangan Mary Jane Veloso (Filipina) dan anggota Bali Nine (Australia), berlanjut dengan rencana pemulangan Serge Areski Atlaoui (Prancis). Meski kontroversial, kebijakan ini memberikan sejumlah keuntungan signifikan bagi Indonesia.
Salah satu keuntungan utama adalah pengurangan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setiap narapidana membutuhkan biaya hidup, perawatan, pendidikan, dan lain-lain yang ditanggung negara. Dengan memulangkan narapidana asing, biaya ini menjadi tanggung jawab negara asal mereka. Sebagai gambaran, pada 2023 saja, anggaran untuk makanan narapidana mencapai sekitar Rp2 triliun, belum termasuk biaya lainnya.
Selain itu, kebijakan ini juga berkontribusi pada pengurangan kepadatan lembaga pemasyarakatan (lapas). Data September 2024 menunjukkan jumlah narapidana dan tahanan mencapai 273.390 orang, melebihi kapasitas lapas yang hanya 140.424 orang. Pemulangan narapidana asing secara otomatis mengurangi jumlah penghuni lapas.
Dari sisi hubungan internasional, kebijakan ini memperkuat kerja sama bilateral. Indonesia menggunakan perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (MLA) sebagai dasar hukumnya. Ini membuka peluang bagi Indonesia untuk meminta pemulangan narapidana Indonesia dari negara lain, seperti Malaysia dan Arab Saudi, di masa mendatang. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, bahkan menyatakan harapan untuk bernegosiasi dengan Malaysia dan Arab Saudi terkait kasus WNI di sana.
Lebih lanjut, kebijakan ini mendapat apresiasi internasional. Setelah pemulangan Mary Jane dan Bali Nine, PBB mengubah penilaian Indonesia terkait peradilan dari 'negatif' menjadi 'netral'. Ini merupakan capaian signifikan mengingat penilaian Indonesia sempat berada di titik terendah pada 2015, dikategorikan sebagai 'unfair trial'.
Namun, perlu diingat bahwa regulasi terkait pemindahan narapidana internasional masih belum terperinci. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2008 tentang MLA belum mengatur secara detail mekanisme pemindahan napi internasional. Oleh karena itu, pemerintah sedang berupaya untuk segera merumuskan Undang-Undang baru guna memberikan kepastian hukum yang lebih kuat.
Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut, yang saat ini berada di Kementerian Hukum dan HAM, telah memuat syarat dan prosedur pemindahan napi, termasuk prinsip 'double criminality'. Syarat pemindahan narapidana dari Indonesia antara lain persetujuan tertulis narapidana, persetujuan negara pengirim dan penerima, dan bukti kewarganegaraan. Begitu pula syarat untuk pemindahan narapidana ke Indonesia, di mana dibutuhkan bukti kewarganegaraan dan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dengan adanya regulasi yang lebih komprehensif, Indonesia dapat memastikan kepastian hukum dan memperkuat posisi diplomatiknya di mata internasional. Proses pemindahan narapidana yang prosedural dan transparan akan semakin memperkuat kerja sama internasional dan memberikan keuntungan bagi Indonesia secara keseluruhan. Teuku Rezasyah, pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran, menilai negara yang demokratis dan kaya akan diuntungkan karena desakan pertukaran napi dari dalam negeri mereka berkurang, yang pada akhirnya meningkatkan toleransi mereka terhadap negara berkembang.