Komitmen Indonesia Pimpin Upaya Global Akhiri Polusi Plastik: Fakta Penting dari Jenewa
Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq tegaskan komitmen Indonesia pimpin upaya global akhiri polusi plastik dalam negosiasi di Jenewa. Simak detailnya!

Indonesia melalui Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan komitmennya untuk memimpin upaya global dalam mengakhiri polusi plastik. Pernyataan ini disampaikan dalam negosiasi Perjanjian Plastik Global yang berlangsung di Jenewa, Swiss. Komitmen tersebut disampaikan dalam Komite Perundingan Antar-Pemerintah (INC-5.2) yang membahas penyusunan instrumen internasional yang mengikat secara hukum mengenai polusi plastik.
Menteri Hanif menekankan pentingnya proses negosiasi yang inklusif, adil, serta menghargai kondisi unik setiap negara. Khususnya, negara berkembang membutuhkan dukungan teknologi, pembiayaan, dan investasi dari negara maju. Hal ini menjadi krusial demi tercapainya kesepakatan yang efektif dan dapat diimplementasikan secara global.
Kehadiran delegasi Indonesia di Jenewa tidak hanya untuk menyampaikan komitmen, tetapi juga untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai pertemuan. Menteri Hanif menghadiri pertemuan meja bundar tingkat menteri, dialog antara swasta dan pemerintah, serta pertemuan bilateral dengan pejabat dari Swiss, Inggris, dan Belanda. Kunjungan ke fasilitas penggunaan kembali (reuse) lokal juga menjadi bagian dari agenda untuk memahami praktik terbaik di lapangan.
Tantangan Negosiasi Perjanjian Plastik Global
Dalam pertemuan meja bundar, Menteri Hanif menyampaikan keprihatinan Indonesia atas minimnya kemajuan negosiasi Perjanjian Plastik Global (Global Plastic Treaty). Perjanjian ini dinilai sangat mendesak untuk mengatasi ancaman serius polusi plastik yang semakin meluas. Indonesia menekankan bahwa momentum tidak boleh hilang, dan perjanjian harus ambisius, praktis, serta mengirim sinyal tegas bahwa polusi plastik harus diakhiri.
Delegasi Indonesia menyatakan bahwa keberhasilan perjanjian tersebut membutuhkan konsensus, bukan pemungutan suara. Pendekatan ini diharapkan dapat memastikan implementasi yang efektif di setiap negara, mengingat beragamnya kondisi dan kapasitas. Konsensus akan membangun dasar yang kuat untuk kerja sama internasional dalam menanggulangi masalah polusi plastik.
Menteri Hanif menegaskan bahwa waktu untuk bertindak adalah sekarang. Urgensi ini didasari oleh dampak polusi plastik yang merugikan lingkungan, kesehatan manusia, dan ekonomi. Oleh karena itu, negosiasi harus bergerak cepat menuju kesepakatan yang mengikat dan dapat diterapkan secara global.
Target Ambisius Indonesia dalam Pengelolaan Plastik
Indonesia telah menetapkan target nasional yang ambisius untuk pengelolaan sampah. Negara ini bertekad untuk memastikan 100 persen sampah, termasuk plastik, dikelola dengan baik pada tahun 2029. Target ini menunjukkan keseriusan Indonesia dalam mengatasi masalah sampah plastik di tingkat domestik.
Upaya mencapai target tersebut mencakup beberapa strategi kunci. Ini termasuk penghapusan plastik bermasalah yang sulit didaur ulang atau berbahaya, serta pengurangan penggunaan bahan kimia berbahaya dalam produk plastik. Inisiatif ini bertujuan untuk mengurangi sumber polusi sejak awal.
Selain itu, Indonesia juga fokus pada perbaikan pencemaran yang sudah ada dan pencegahan kebocoran plastik ke lingkungan. Langkah-langkah ini sangat penting untuk memulihkan ekosistem yang tercemar dan mencegah penumpukan sampah plastik di darat maupun di perairan. Pencegahan menjadi kunci untuk keberlanjutan lingkungan.
Kolaborasi Swasta dan Implementasi EPR
Pada dialog bersama Koalisi Bisnis untuk Perjanjian Plastik Global, yang mewakili lebih dari 300 perusahaan di rantai nilai plastik, Indonesia menyampaikan dukungannya. Dukungan ini diberikan terhadap tiga poin utama yang diajukan oleh koalisi bisnis. Poin-poin ini menjadi landasan penting untuk kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta dalam mengatasi polusi plastik.
Poin-poin dukungan Indonesia meliputi:
- Penghapusan produk dan bahan kimia bermasalah.
- Penerapan desain produk berkelanjutan.
- Implementasi sistem Tanggung Jawab Produsen yang Diperluas (Extended Producer Responsibility/EPR).
EPR adalah kebijakan lingkungan di mana produsen bertanggung jawab penuh atas siklus hidup produk yang mereka hasilkan, termasuk setelah produk tersebut menjadi limbah. Implementasi EPR diharapkan dapat mendorong produsen untuk mendesain produk yang lebih mudah didaur ulang dan mengurangi dampak lingkungan. Kebijakan ini juga membebankan tanggung jawab pengelolaan limbah kepada pihak yang memiliki kapasitas dan insentif untuk melakukannya.