Konflik Tapal Batas RI-RDTL di NTT: 25 Tahun Tanpa Titik Temu
Konflik tapal batas antara Indonesia dan Timor Leste di NTT telah berlangsung selama 25 tahun tanpa titik temu, memicu keresahan dan tuntutan penyelesaian dari berbagai pihak.

Konflik tapal batas antara Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) di Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), telah berlangsung selama 25 tahun tanpa titik temu. Hal ini disampaikan oleh Danrem 161/Wira Sakti, Brigjen TNI Joao Xavier Barreto Nunes, Rabu (9/4) di Kupang, usai menggelar pertemuan dengan Forkompimda dari kedua kabupaten tersebut, serta para raja dan tokoh agama setempat.
Pertemuan tersebut membahas upaya bersama untuk menyelesaikan sengketa lahan di Naktuka (Kabupaten Kupang) dan Citrana (Kabupaten TTS) yang diklaim sebagai milik masyarakat NTT. Ketidakadilan terlihat jelas; masyarakat Indonesia dilarang mengakses lahan tersebut, sementara warga Timor Leste diizinkan bercocok tanam di lahan yang sama oleh aparat keamanan Timor Leste. Brigjen Nunes mengungkapkan kekesalannya atas situasi ini.
Permasalahan ini bukan hanya menyangkut lahan, tetapi juga menyoroti ketidakjelasan batas wilayah yang berakar dari perjanjian historis antara Portugis dan Belanda. Hal ini diperparah dengan minimnya hasil dari berbagai pertemuan dengan perwakilan pemerintah pusat, seperti yang disampaikan oleh Raja Amfoang Robby Manoh, yang telah berjuang selama puluhan tahun untuk mengembalikan wilayah Naktuka ke NKRI. "Dari pusat datang hanya menghabiskan anggaran, setelah itu kembali ke Jakarta hilang begitu saja," ujarnya.
25 Tahun Sengketa Lahan: Ketidakjelasan Batas Wilayah dan Minimnya Solusi
Brigjen Nunes menjelaskan bahwa meskipun terdapat perjanjian historis seperti Satrasta 1904 antara Portugis dan Belanda, masalah batas wilayah Timor Leste masih belum terselesaikan hingga saat ini. Beliau mempertanyakan efektivitas hukum internasional jika batas wilayah masih belum jelas, "Berarti memang diputus, kalau memang hukum internasional sudah final, ya selesai, tapi kita tahu wilayah batas Timor belum jelas batasnya, seperti dulu antara Belanda dan Portugis," tegasnya.
Danrem menekankan pentingnya kesepakatan bersama dari semua pihak yang terlibat untuk menyelesaikan konflik ini. Namun, realitanya, permasalahan ini telah berlangsung selama seperempat abad tanpa solusi yang memuaskan. Ketidakpastian ini menimbulkan keresahan dan ketidakpuasan di kalangan masyarakat NTT yang merasa haknya dirampas.
Pertemuan yang dilakukan di Korem 161/Wira Sakti Kupang bertujuan untuk mencari jalan keluar bersama. Namun, tantangan utama terletak pada ketidakjelasan batas wilayah dan kurangnya tindak lanjut yang efektif dari pemerintah pusat. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen pemerintah dalam menyelesaikan konflik tapal batas yang telah berlangsung selama 25 tahun ini.
Minimnya Hasil Pertemuan dengan Pemerintah Pusat
Raja Amfoang Robby Manoh mengungkapkan kekecewaannya atas minimnya hasil dari berbagai pertemuan yang telah dilakukan dengan perwakilan pemerintah pusat. Beliau menyatakan bahwa kunjungan-kunjungan tersebut hanya menghabiskan anggaran negara tanpa menghasilkan solusi konkrit. Hal ini memperkuat sentimen masyarakat NTT yang merasa diabaikan dan berharap adanya tindakan nyata dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik ini.
Pernyataan Raja Amfoang tersebut menjadi sorotan penting, karena menggambarkan kegagalan komunikasi dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam menangani masalah tapal batas ini. Kurangnya tindak lanjut yang efektif membuat masyarakat merasa pesimis dan semakin memperpanjang konflik yang telah berlangsung selama 25 tahun.
Ketidakjelasan status lahan di Naktuka dan Citrana menimbulkan kerugian bagi masyarakat Indonesia. Mereka tidak dapat mengelola lahan mereka sendiri, sementara warga Timor Leste diizinkan bercocok tanam di lahan yang sama. Situasi ini membutuhkan solusi segera dan komitmen yang kuat dari semua pihak yang terlibat.
Harapan Penyelesaian Konflik Tapal Batas
Konflik tapal batas antara Indonesia dan Timor Leste di NTT telah berlangsung selama 25 tahun dan belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian. Ketidakjelasan batas wilayah, minimnya hasil pertemuan dengan pemerintah pusat, dan ketidakadilan yang dialami masyarakat Indonesia menjadi tantangan utama dalam menyelesaikan konflik ini. Diperlukan komitmen kuat dari semua pihak, termasuk pemerintah pusat dan daerah, serta kerja sama yang efektif untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan.
Pertemuan yang dilakukan oleh Danrem 161/Wira Sakti merupakan langkah awal yang baik, namun masih dibutuhkan upaya yang lebih besar dan terkoordinasi untuk menyelesaikan masalah ini secara tuntas. Harapannya, konflik tapal batas ini dapat segera diselesaikan sehingga masyarakat dapat hidup damai dan tenang serta dapat mengelola lahan mereka masing-masing tanpa hambatan.