KPPU Nilai Kritik AS terhadap QRIS Tak Selaras dengan Persaingan Usaha yang Sehat
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai kritik Amerika Serikat (AS) terhadap QRIS dan GPN tidak sejalan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat, karena justru memberikan opsi bagi konsumen.

Jakarta, 5 Mei 2024 - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memberikan tanggapan resmi terkait kritik Amerika Serikat (AS) terhadap sistem pembayaran digital Quick Response Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Kritik tersebut dinilai tidak selaras dengan prinsip persaingan usaha yang sehat dan justru menghambat perkembangan ekonomi digital di Indonesia. Wakil Ketua KPPU, Aru Armando, menjelaskan bahwa QRIS dan GPN memberikan pilihan bagi masyarakat Indonesia untuk memilih metode pembayaran sesuai preferensi masing-masing.
Pernyataan tersebut disampaikan Aru Armando pada Senin di Gedung KPPU, Jakarta. Ia menekankan bahwa keberadaan QRIS dan GPN memberikan kemudahan, khususnya bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam bertransaksi. Lebih lanjut, Aru Armando juga menegaskan bahwa Indonesia tidak pernah melarang penggunaan sistem pembayaran internasional seperti Visa atau Mastercard. Paksaan untuk menggunakan sistem pembayaran tertentu justru dianggap melanggar prinsip persaingan usaha yang adil.
"Amerika Serikat, yang katanya negara pertama yang punya undang-undang persaingan usaha, harus mengerti bahwa QRIS dan GPN ini justru memberi opsi kepada masyarakat," ujar Aru Armando. Ia menambahkan bahwa dari sisi persaingan usaha, QRIS dan GPN memberikan opsi kepada konsumen, sehingga tidak perlu ada pertanyaan lebih lanjut mengenai sistem pembayaran domestik ini.
Kritik AS terhadap QRIS dan GPN
Kritik dari Amerika Serikat terhadap QRIS dan GPN disampaikan melalui Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) dalam National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang dirilis pada 31 Maret 2024. USTR menyatakan bahwa perusahaan AS, termasuk bank dan penyedia jasa pembayaran, merasa tidak dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan QRIS oleh Bank Indonesia.
USTR menilai kurangnya keterlibatan pihak internasional dalam pengembangan QRIS menyulitkan integrasi sistem pembayaran asing ke dalam arsitektur pembayaran domestik Indonesia. Mereka merasa tidak diberi informasi dan kesempatan untuk menyampaikan pandangan mereka selama proses tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan pembatasan persaingan dan potensi diskriminasi terhadap perusahaan asing.
Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membantah tudingan tersebut. Ia menegaskan bahwa Indonesia selalu terbuka untuk berkolaborasi dan telah memberikan kesempatan yang setara bagi semua pihak dalam pengembangan sistem pembayaran digital nasional.
Penjelasan KPPU Mengenai Persaingan Usaha
KPPU menjelaskan bahwa QRIS dan GPN dirancang untuk meningkatkan efisiensi dan inklusi keuangan di Indonesia. Sistem ini bertujuan untuk mempermudah transaksi dan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat, khususnya UMKM yang selama ini kesulitan mengakses layanan perbankan konvensional. Dengan adanya QRIS dan GPN, UMKM dapat menerima pembayaran digital dengan lebih mudah dan efisien.
KPPU juga menekankan pentingnya menjaga kedaulatan ekonomi digital Indonesia. Pengembangan QRIS dan GPN merupakan bagian dari upaya untuk membangun infrastruktur digital nasional yang kuat dan mandiri. Hal ini juga sejalan dengan upaya pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia.
Lebih lanjut, KPPU menyatakan bahwa sistem pembayaran digital haruslah mengikuti prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat dan tidak diskriminatif. Semua pihak, baik domestik maupun internasional, harus diberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengembangan ekosistem pembayaran digital di Indonesia.
Kesimpulan
Kritik AS terhadap QRIS dan GPN perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas. KPPU berpendapat bahwa sistem ini justru meningkatkan persaingan usaha yang sehat dengan memberikan lebih banyak pilihan kepada konsumen. Indonesia tetap berkomitmen untuk membuka diri terhadap kerjasama internasional, namun tetap akan menjaga kedaulatan ekonomi digital nasional.