Krisis Cokelat: Ancaman Perubahan Iklim pada Valentine
Lonjakan harga cokelat di Hari Valentine mengungkap dampak krisis iklim terhadap rantai pasokan kakao global, mengancam petani dan ekonomi.

Hari Valentine tahun ini menyajikan tantangan pahit: lonjakan harga cokelat. Bukan sekadar tren berita, ini bukti nyata dampak krisis iklim terhadap komoditas sehari-hari.
Batangan cokelat yang biasa dinikmati bersama orang terkasih kini memaksa kita untuk melihat lebih dalam: bagaimana pemanasan global dan cuaca tak menentu telah mengguncang rantai pasokan kakao global. Kakao merupakan tanaman sensitif yang membutuhkan kondisi ideal. Area penanaman harus cukup lembap dan hangat, tetapi tidak berlebihan. Suhu sedikit di atas batas normal atau curah hujan yang tidak menentu dapat menurunkan produksi secara drastis.
Krisis Kakao: Dampak Perubahan Iklim
Laporan amal internasional Christian Aid, Cocoa Crisis: How Chocolate is Feeling the Bite of Climate Change, menyatakan perubahan iklim telah sangat memengaruhi produksi kakao di Ghana dan Pantai Gading, dua produsen kakao terbesar dunia. Kedua negara ini menyumbang lebih dari 60 persen produksi kakao global.
Climate Central, dalam laporan "Climate change is heating up West Africa’s cocoa belt," mencatat bahwa pada tahun 2024, perubahan iklim memperpanjang periode hari-hari panas (suhu di atas 32 derajat Celcius) hingga enam minggu di 71 persen wilayah penghasil kakao di Pantai Gading, Ghana, Kamerun, dan Nigeria. Suhu tersebut terlalu tinggi untuk pertanian kakao optimal. Pola curah hujan yang tidak menentu selama musim panen di Afrika Barat juga berdampak negatif pada produksi.
Ini bukan sekadar fluktuasi musiman, melainkan gejala krisis iklim yang semakin parah. Akibatnya, harga kakao melonjak 400 persen dalam beberapa tahun terakhir, mencapai puncak USD12.605 per ton pada Desember 2024.
Petani Kakao Terdampak
Petani yang bergantung pada kakao untuk penghasilan mereka menghadapi kesulitan. Ironisnya, mereka yang paling terdampak seringkali adalah mereka yang paling sedikit berkontribusi terhadap krisis ini. Negara-negara maju, dengan jejak karbon yang jauh lebih besar, terus menikmati cokelat dengan harga lebih tinggi, sementara petani kakao skala kecil di Afrika dan Indonesia menghadapi ancaman serius terhadap mata pencaharian mereka.
Indonesia: Produsen Kakao Terbesar Ketiga
Indonesia, sebagai produsen kakao terbesar ketiga dunia (menghasilkan 11,4 persen atau sekitar 667 ribu ton kakao pada tahun 2022), tidak boleh pasif. Jika krisis berlanjut, Indonesia tidak hanya akan melihat kenaikan harga cokelat, tetapi juga kehilangan potensi ekspor senilai miliaran rupiah. Lebih buruk lagi, masa depan ratusan ribu petani kakao di Indonesia akan terancam.
Wicaksono Gitawan, ahli strategi kebijakan di CERAH, menyatakan bahwa mengabaikan krisis iklim akan berdampak negatif pada industri cokelat Indonesia di masa depan. Ia menambahkan bahwa negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, harus mengambil tindakan serius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca guna keberlangsungan industri ini.
Solusi Konkret: Adaptasi dan Diversifikasi
Andy Soden, direktur operasional Kernow Chocolate, mengonfirmasi bahwa produksi kakao global telah terpengaruh oleh perubahan iklim ekstrem selama empat tahun terakhir. Cuaca yang tidak menentu selama penanaman dan panen telah mengurangi produksi kakao secara drastis. Persediaan rendah, dikombinasikan dengan permintaan global yang tinggi, telah mendorong harga kakao pasar dari yang relatif stabil menjadi lebih dari £10.000 per ton.
Situasi ini membutuhkan solusi konkret. Ini bukan hanya tentang harga dan rantai pasokan, tetapi juga tentang bagaimana suatu negara menanggapi perubahan iklim dengan tindakan nyata. Jika produksi kakao terus terganggu, negara akan kehilangan lebih dari sekadar angka dalam neraca perdagangan. Pekerjaan, kesejahteraan masyarakat, dan ketahanan pangan nasional juga akan terpengaruh.
Gitawan menekankan pentingnya adaptasi. Petani kakao Indonesia membutuhkan akses teknologi pertanian untuk membantu mereka lebih tahan terhadap perubahan iklim. Ini dapat mencakup peningkatan manajemen air, penggunaan varietas benih yang tahan terhadap suhu ekstrem, dan penerapan sistem agroforestri yang lebih ramah lingkungan. Pendanaan iklim juga harus lebih fokus pada sektor pertanian yang langsung terdampak perubahan iklim.
Petani skala kecil tidak boleh menghadapi badai ini sendirian sementara industri besar dan negara maju terus makmur tanpa menghadapi konsekuensi signifikan. Diversifikasi komoditas juga penting. Indonesia tidak dapat selamanya bergantung pada kakao dalam skala besar tanpa strategi alternatif. Jika perubahan iklim terus berlanjut tanpa intervensi yang cukup, mempertahankan produksi kakao dalam jangka panjang akan semakin menantang.
Valentine dan Masa Depan
Hari Valentine ini seharusnya mengingatkan kita bahwa setiap batangan cokelat memiliki sejarah panjang di baliknya. Di balik manisnya cokelat adalah kenyataan bagaimana kita, sebagai masyarakat global, menghadapi salah satu tantangan terbesar abad ini: menyelamatkan planet sambil memastikan pembagian yang adil bagi semua pihak yang terlibat. Jika tidak ada tindakan yang diambil sekarang, cokelat tidak hanya akan absen dari rak toko pada Hari Valentine, tetapi masa depan pertanian dan keberlanjutan ekonomi juga akan berisiko.