Krisis Iklim Ancam Pertanian Indonesia: Air, Kedaulatan Pangan, dan Masa Depan Bangsa
Krisis iklim mengancam sektor pertanian Indonesia; pengelolaan air yang buruk dan perubahan iklim menyebabkan gagal panen, mengancam ketahanan pangan nasional.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Di Indonesia, krisis iklim yang ditandai perubahan pola curah hujan dan kekeringan mengancam 39 juta penduduk yang bergantung pada sektor pertanian. Peringatan Hari Air Sedunia pada 22 Maret menjadi momentum refleksi atas pengelolaan sumber daya air yang buruk. Anomali iklim yang semakin tak terprediksi, seperti El Nino 2023, telah mengakibatkan gagal panen di berbagai wilayah, terutama Jawa dan Nusa Tenggara. Hal ini disebabkan oleh kombinasi antara perubahan iklim, infrastruktur irigasi yang buruk, dan praktik pertanian yang tidak berkelanjutan.
Krisis air bukan sekadar prediksi, tetapi realita yang sudah terjadi. Meskipun Indonesia memiliki cadangan air tawar melimpah, distribusi yang tidak merata menyebabkan beberapa wilayah kelebihan air sementara yang lain mengalami kekeringan panjang. Intensitas hujan ekstrem meningkat hingga 20 persen dalam satu dekade terakhir, sementara kemarau berlangsung lebih lama. Akibatnya, ribuan hektare lahan pertanian gagal panen, baik karena banjir atau kekeringan.
Praktik pertanian tradisional yang boros air dan tidak ramah lingkungan, seperti sistem irigasi genangan dan penggunaan pupuk kimia berlebihan, memperparah krisis. FAO mencatat 50 persen air irigasi hilang akibat infrastruktur rusak dan tata kelola air yang buruk. World Bank memprediksi Indonesia bisa kehilangan 30 persen produksi pangan pada 2045 jika kondisi ini berlanjut, mengancam target Indonesia Emas 2045.
Solusi dan Inovasi Menghadapi Krisis Air
Berbagai inovasi dan prakarsa masyarakat menawarkan secercah harapan. Di Sleman, petani bawang merah berhasil mengurangi penggunaan air hingga 40 persen dengan irigasi presisi berbasis sensor kelembaban tanah. Namun, keberhasilan ini masih bersifat lokal dan perlu dikembangkan secara nasional.
Pemerintah perlu mendorong adopsi teknologi irigasi hemat air melalui subsidi, pelatihan, dan regulasi yang mendukung. Pemulihan ekosistem air melalui restorasi daerah aliran sungai (DAS), pembangunan embung, danau tadah hujan, serta sistem penampungan air tradisional juga penting. Sistem Subak di Bali, yang diakui UNESCO, menjadi contoh pengelolaan air yang adil dan efisien.
Praktik pertanian regeneratif, seperti agroekologi dan penggunaan pupuk organik, perlu dipromosikan secara luas. Varietas padi tahan kering, seperti Inpago 12, perlu disebarluaskan ke daerah rawan kekeringan. Pola tanam bergilir yang menjaga kesuburan tanah dan menghemat air juga penting dikampanyekan.
Kolaborasi Lintas Sektor untuk Ketahanan Pangan
Kolaborasi lintas sektor sangat krusial. Pemerintah pusat dan daerah harus memiliki visi bersama dalam tata kelola air. Revisi Undang-Undang Sumber Daya Air perlu memprioritaskan akses air untuk pertanian rakyat. Organisasi petani harus diberdayakan sebagai mitra dalam pengelolaan sumber daya air.
Dunia usaha dan lembaga internasional juga berperan penting. Skema pembiayaan hijau untuk infrastruktur air perlu diperluas. Kemitraan antara perusahaan dan petani, seperti contoh kerja sama perusahaan susu dengan petani kopi di Cianjur, bisa direplikasi.
Hari Air Sedunia harus menjadi alarm bagi Indonesia untuk bertindak. Kegagalan mengelola air akan berdampak pada ketahanan pangan, stabilitas sosial, dan ekonomi bangsa. Indonesia perlu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri dalam mengelola air, memastikan air menjadi sumber kesejahteraan bersama, dan petani menjadi bagian dari solusi, bukan korban krisis.
Generasi mendatang akan menilai bagaimana generasi saat ini menghadapi krisis air. Menjaga air hari ini berarti menjaga kehidupan esok hari, bukan hanya untuk kita, tetapi untuk generasi masa depan. "Jika kita bisa menjaga air hari ini, kita menjaga kehidupan esok hari." - Kuntoro Boga Andri