Swasembada Pangan: Tak Cukup untuk Kemandirian Pangan Indonesia
Indonesia perlu melampaui swasembada pangan menuju kemandirian pangan melalui diversifikasi, distribusi efisien, dan regenerasi petani.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Indonesia, meskipun telah mencapai swasembada pangan secara keseimbangan suplai dan permintaan, masih menghadapi tantangan besar dalam mencapai kemandirian pangan. Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc., dan berbagai pihak terkait, seperti Kementerian Pertanian dan Polri, menyoroti permasalahan ini. Tantangan ini muncul karena swasembada pangan belum menjamin akses pangan terjangkau bagi seluruh masyarakat. Artikel ini membahas berbagai faktor penghambat dan solusi untuk mencapai kemandirian pangan Indonesia.
Swasembada pangan, menurut Prof. Bustanul Arifin, hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu kemandirian pangan. Singapura, sebagai contoh, meskipun tidak swasembada, mampu mencapai kemandirian pangan melalui diversifikasi sumber dan efisiensi distribusi. Indonesia perlu belajar dari strategi ini untuk memastikan rakyatnya dapat mengakses pangan dengan harga terjangkau, terlepas dari jumlah produksi.
Pertumbuhan sektor pertanian Indonesia yang stagnan, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional, menjadi indikasi serius. Berbagai faktor berkontribusi terhadap stagnasi ini, termasuk alih fungsi lahan, kurangnya regenerasi petani, perubahan iklim, dan peran penyuluhan pertanian yang semakin berkurang. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi lintas sektor dan kebijakan yang berpihak pada petani untuk mengatasi masalah ini.
Regenerasi Petani: Kunci Menuju Kemandirian Pangan
Salah satu tantangan terbesar dalam mencapai kemandirian pangan adalah regenerasi petani. Ketua Kelompok Substansi Perencanaan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Siti Haryati, SP., M.Sc., mengakui minimnya SDM pertanian. "Petani banyak yang senior, yang muda-muda susah terjun ke sawah, ditambah dengan masalah sarana dan prasarana yang terbatas," ujarnya. Kondisi ini perlu diatasi dengan menciptakan insentif yang menarik bagi generasi muda agar mau berpartisipasi dalam sektor pertanian.
Pemerintah perlu memberikan pelatihan dan pendidikan berbasis teknologi pertanian modern. Generasi muda perlu melihat pertanian sebagai profesi yang menjanjikan secara ekonomi. Teknologi pertanian presisi, penggunaan drone, dan otomatisasi irigasi dan pemupukan harus lebih banyak diterapkan dan diakses oleh petani kecil.
Inovasi teknologi sangat krusial. Pertanian modern tidak bisa lagi mengandalkan cara-cara konvensional. Akses yang lebih luas terhadap teknologi modern akan meningkatkan produktivitas dan menekan biaya produksi.
Pupuk Terjangkau: Mendukung Produktivitas Pertanian
Ketersediaan pupuk yang cukup dan terjangkau juga menjadi faktor penting. Dirut PT. Pupuk Indonesia, Gusrizal, memastikan adanya pabrik pupuk di sentra-sentra pangan. "Secara produksi ada 14 juta ton, yang disubsidi 9,5 juta ton," katanya. Meskipun produksi pupuk melimpah, distribusi yang merata masih menjadi tantangan.
Pemerintah dan perusahaan pupuk harus memastikan akses pupuk yang mudah dan harga yang terjangkau bagi petani. Pupuk berkontribusi besar terhadap produktivitas (62 persen), namun distribusi yang buruk akan mengurangi potensi ini. "Pupuk berkontribusi 62 persen produktivitas tetapi harganya hanya 23 persen, dan jika pupuk subsidi bisa mengurangi biaya produksi sampai 9 persen,” jelas Gusrizal.
Peran BUMN dalam menjamin ketersediaan pupuk di sentra pertanian sangat penting. Distribusi pupuk yang efisien akan berdampak signifikan terhadap produktivitas dan biaya produksi pertanian.
Keterlibatan Semua Pihak: Kolaborasi untuk Ketahanan Pangan
Upaya mencapai swasembada pangan membutuhkan keterlibatan berbagai pihak. Polri, misalnya, telah memanfaatkan lahan kosong untuk tanaman pangan. Wakil Satgas Pangan Polri, Kombes Moh. Samsul Arifin, S.I.K., MH., menyatakan Polri juga melakukan perekrutan tenaga pertanian dan pemanfaatan pekarangan anggota untuk tanaman pangan. Langkah ini perlu diperluas dengan melibatkan perusahaan swasta dan masyarakat luas.
Konsep urban farming, pemanfaatan lahan pekarangan, hidroponik, dan aquaponik di perkotaan dapat meningkatkan produksi pangan. Reformasi sistem distribusi yang lebih efisien juga penting untuk mencegah harga pangan yang tinggi di tingkat konsumen sementara harga di tingkat petani tetap rendah.
Pemerintah harus memastikan rantai distribusi tidak dikuasai oleh segelintir pihak yang mementingkan keuntungan semata. Strategi ketahanan pangan yang adaptif terhadap perubahan iklim juga krusial, termasuk diversifikasi pangan lokal.
Kesimpulannya, mencapai kemandirian pangan memerlukan kolaborasi semua pihak, kebijakan yang berpihak pada petani, inovasi teknologi, dan sistem distribusi yang efisien. Dengan langkah-langkah konkret, Indonesia tidak hanya akan mencapai swasembada pangan, tetapi juga ketahanan pangan yang lebih kokoh di masa depan.