Mahasiswi Kupang Tersangka Kasus Eks Kapolres Ngada: Diperdaya Janji Uang, Terancam UU TPPO
Seorang mahasiswi di Kupang ditetapkan sebagai tersangka kasus kekerasan seksual yang melibatkan eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar, setelah diperdaya dengan janji uang untuk mencari anak di bawah umur.

Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) menetapkan seorang mahasiswi bernama Stefani, atau yang akrab disapa Fani, sebagai tersangka dalam kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar. Peristiwa ini mengejutkan publik dan mengungkap peran Fani sebagai pihak yang turut serta dalam kejahatan tersebut. Kasus ini terjadi di Kota Kupang dan melibatkan seorang anak di bawah umur yang menjadi korban eksploitasi seksual.
Kombes Pol Patar Silalahi, Direskrimum Polda NTT, dalam jumpa pers di Mapolda NTT pada Selasa, mengungkapkan peran Fani. Ia menjelaskan bahwa Fani berperan sebagai perantara, menyediakan akses bagi AKBP Fajar kepada korban, seorang anak perempuan berusia enam tahun. Penyelidikan mendalam mengungkap kronologi kejadian yang melibatkan mahasiswi tersebut dan bagaimana ia terlibat dalam kejahatan yang dilakukan oleh mantan perwira polisi tersebut.
Pertemuan Fani dan AKBP Fajar bermula pada 10 Juni 2024 melalui media sosial. Setelah saling mengenal, AKBP Fajar kemudian meminta bantuan Fani untuk mencari seorang anak di bawah umur. Mahasiswi tersebut, yang dijanjikan imbalan uang sebesar Rp3 juta, menyanggupi permintaan tersebut dan mengajak seorang anak perempuan berusia lima tahun pada saat itu.
Peran Fani dan Kronologi Kejadian
Fani mengajak korban berjalan-jalan di Kota Kupang, termasuk makan bersama. Setelah lelah, sekitar pukul 20.00 WITA, anak tersebut dibawa ke kamar hotel tempat AKBP Fajar menginap. Setelah korban tertidur, AKBP Fajar melakukan tindakan asusila dan merekam perbuatannya. Fani meninggalkan korban di kamar tersebut dan baru kembali sekitar pukul 01.00 WITA untuk mengantar korban pulang atas permintaan AKBP Fajar.
Dalam perjalanan pulang, Fani meminta korban untuk tidak menceritakan kejadian tersebut kepada orang tuanya. Sebagai bentuk "pemberian diam", korban diberi uang sebesar Rp100 ribu. Aksi keji ini melibatkan dua pelaku utama, yaitu AKBP Fajar dan Fani, yang kini harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan hukum.
Dengan ditetapkannya Fani sebagai tersangka, kini terdapat dua tersangka dalam kasus kekerasan seksual ini. Kasus tersebut semakin kompleks karena melibatkan unsur perdagangan orang dan eksploitasi anak. Proses hukum pun terus berlanjut untuk mengungkap seluruh fakta dan memastikan keadilan bagi korban.
Tuntutan Hukum dan Proses Selanjutnya
Atas perbuatannya, Fani dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta Pasal 17 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Polda NTT telah menyelesaikan berkas perkara dan akan melimpahkannya ke Kejaksaan NTT untuk proses hukum selanjutnya. Kasus ini menjadi sorotan publik dan menunjukkan betapa pentingnya perlindungan anak dan penegakan hukum terhadap kejahatan seksual.
Kasus ini juga menyoroti bahaya eksploitasi anak melalui media sosial dan pentingnya pengawasan orang tua terhadap anak-anak mereka. Peran Fani sebagai mahasiswi yang terlibat dalam kejahatan ini menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana kejahatan dapat terjadi dengan berbagai modus operandi yang terselubung. Proses hukum yang sedang berjalan diharapkan dapat memberikan keadilan bagi korban dan menjadi efek jera bagi pelaku kejahatan serupa.
Penetapan Fani sebagai tersangka menambah kompleksitas kasus ini, memperlihatkan jaringan yang terlibat dalam kejahatan tersebut. Proses hukum yang transparan dan adil sangat penting untuk memastikan keadilan bagi korban dan mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Perlindungan anak dan penegakan hukum yang tegas menjadi kunci dalam mengatasi masalah kekerasan seksual dan perdagangan orang.
Dengan terungkapnya kasus ini, diharapkan masyarakat lebih waspada terhadap modus kejahatan yang melibatkan anak di bawah umur. Pentingnya edukasi dan perlindungan anak menjadi hal yang krusial untuk mencegah terjadinya eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak.