Mantan Pejabat MA, Zarof Ricar, Didakwa Terima Gratifikasi Rp915 Miliar dan 51 Kg Emas
Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, didakwa menerima gratifikasi berupa uang dan emas senilai total Rp915 miliar dan 51 kg selama menjabat di MA periode 2012-2022, terkait berbagai perkara yang ditanganinya.
![Mantan Pejabat MA, Zarof Ricar, Didakwa Terima Gratifikasi Rp915 Miliar dan 51 Kg Emas](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/10/170131.480-mantan-pejabat-ma-zarof-ricar-didakwa-terima-gratifikasi-rp915-miliar-dan-51-kg-emas-1.jpg)
Jakarta, 10 Februari 2024 - Dunia hukum Indonesia kembali dihebohkan dengan kasus dugaan korupsi. Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), didakwa menerima gratifikasi fantastis selama bertugas. Jumlahnya? Rp915 miliar dalam bentuk uang dan 51 kilogram emas! Skandal ini mengungkap dugaan praktik suap yang sistematis di lingkungan peradilan tertinggi di negeri ini, menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas dan keadilan hukum.
Gratifikasi Melimpah Selama Satu Dekade
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung), Nurachman Adikusumo, membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin lalu. Dakwaan tersebut menjelaskan bahwa Zarof menerima gratifikasi tersebut selama periode 2012 hingga 2022. Uang yang diterima berasal dari berbagai mata uang, termasuk dolar Singapura, dolar AS, euro, dan dolar Hong Kong. Rinciannya sangat mencengangkan: 71,07 juta dolar Singapura; Rp5,67 miliar dalam pecahan rupiah; 1,39 juta dolar AS; 316.450 dolar Singapura; 46.200 euro; dan 267.500 dolar Hong Kong. Belum lagi emas batangan seberat 46,9 kg, serta berbagai barang berharga lainnya seperti amplop berisi uang, dompet berisi emas, sertifikat berlian, dan kuitansi toko emas.
JPU menekankan bahwa gratifikasi ini diduga kuat terkait dengan berbagai perkara yang ditangani di lingkungan peradilan, mulai dari tingkat pertama hingga peninjauan kembali. Artinya, Zarof diduga memanfaatkan posisinya untuk mempengaruhi putusan pengadilan demi keuntungan pribadi.
Jabatan Strategis dan Akses Luas
Selama kurun waktu tersebut, Zarof memang menduduki sejumlah jabatan strategis di MA. Pada tahun 2012, ia menjabat sebagai Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum MA. Kemudian, pada 2014, ia naik jabatan menjadi Sekretaris Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum MA. Puncaknya, dari tahun 2017 hingga 2022, Zarof menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, Pendidikan, dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA. Jabatan terakhir ini memberinya akses luas untuk berinteraksi dengan berbagai kalangan hakim, mulai dari tingkat pengadilan negeri hingga MA.
Lebih jauh lagi, JPU mengungkapkan bahwa Zarof juga bertugas sebagai widyaiswara, sehingga memiliki kesempatan untuk menjalin hubungan dengan banyak hakim. Diduga, hubungan ini dimanfaatkan untuk memfasilitasi pihak-pihak yang berperkara, dengan tujuan mempengaruhi putusan hakim sesuai dengan keinginan mereka. Sebagai imbalannya, Zarof menerima suap dalam jumlah yang sangat besar.
Kasus Ronald Tannur: Titik Awal Pengungkapan
Pengungkapan kasus gratifikasi Zarof berawal dari penyelidikan kasus dugaan suap perkara terpidana pembunuhan, Ronald Tannur, di tingkat kasasi. Dalam kasus ini, Zarof didakwa melakukan pemufakatan jahat untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar Rp5 miliar kepada hakim MA, dengan tujuan mempengaruhi putusan kasasi agar menguatkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya.
Kasus ini menjadi bukti nyata bagaimana praktik suap dapat merongrong keadilan dan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Besarnya jumlah gratifikasi yang diterima Zarof menunjukkan betapa sistemiknya dugaan praktik korupsi di lingkungan MA.
Dakwaan dan Sanksi Hukum
Atas perbuatannya, Zarof disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 12 B juncto Pasal 15 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Proses hukum selanjutnya akan menentukan hukuman yang akan dijatuhkan kepada Zarof. Namun, kasus ini menjadi pengingat penting betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem peradilan agar keadilan benar-benar ditegakkan.