Mantan Pejabat MA Akui Terima Rp50 Miliar untuk Urus Perkara Gula
Mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, mengaku menerima Rp50 miliar untuk mengurus perkara perdata terkait kasus gula Marubeni, mengungkapkan detail kasus tersebut dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Mantan Pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, menjadi sorotan setelah mengakui telah menerima uang sebesar Rp50 miliar untuk mengurus sebuah perkara perdata. Perkara tersebut terkait kasus gula Marubeni, dan pengakuan mengejutkan ini disampaikan langsung oleh Zarof Ricar saat menjalani sidang sebagai saksi mahkota di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Rabu. Pengakuan ini mengungkap dugaan keterlibatannya dalam praktik korupsi di lingkungan MA.
Dalam kesaksiannya, Zarof Ricar menyatakan bahwa uang fantastis tersebut diterimanya untuk membantu Sugar Group Company memenangkan perkara tersebut. Ia menyebutkan, "Ini uang yang paling besar yang saya terima." Namun, Zarof Ricar mengaku mengalami kesulitan mengingat detail kasus tersebut, termasuk identitas perusahaan yang memberikan uang tersebut, apakah sebagai penggugat atau tergugat. Ketidakjelasan ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut terkait transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan perkara di MA.
Kejanggalan lain muncul dari keterangan Zarof Ricar mengenai rentang waktu perkara tersebut. Ia hanya mengingat kasus itu terjadi antara tahun 2016 hingga 2018. Meskipun demikian, ia yakin Sugar Group Company akan memenangkan kasasi di MA, berdasarkan rekam jejaknya dalam perkara serupa. Zarof Ricar menyatakan, "Saya dapat informasi bahwa perusahaan ini di pengadilan negeri menang, di pengadilan tinggi juga. Jadi, saya berspekulasi pasti menang ini." Pernyataan ini mengindikasikan adanya dugaan manipulasi dan intervensi dalam proses peradilan.
Dugaan Pemufakatan Jahat dan Gratifikasi
Selain kasus penerimaan Rp50 miliar, Zarof Ricar juga didakwa melakukan pemufakatan jahat dan gratifikasi. Dakwaan tersebut meliputi pembantuan untuk memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim senilai Rp5 miliar. Lebih mengejutkan lagi, Zarof Ricar juga didakwa menerima gratifikasi senilai Rp915 miliar dan emas seberat 51 kilogram selama menjabat di MA. Semua ini diduga terjadi antara tahun 2012 hingga 2022. Skandal ini menunjukkan adanya sistemik korupsi yang mungkin terjadi di dalam lembaga peradilan.
Pemufakatan jahat yang diduga dilakukan Zarof Ricar melibatkan penasihat hukum Ronald Tannur dan Lisa Rachmat. Mereka diduga bersama-sama menyuap Hakim Ketua MA Soesilo dalam perkara Ronald Tannur pada tingkat kasasi di tahun 2024. Perbuatan ini memperkuat dugaan adanya jaringan korupsi yang terstruktur dan sistematis di lingkungan MA. Kasus ini menjadi bukti nyata betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem peradilan untuk menjaga keadilan dan kepercayaan publik.
Atas perbuatannya, Zarof Ricar disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 12 B juncto Pasal 15 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sidang ini menjadi sorotan publik dan diharapkan dapat mengungkap seluruh jaringan korupsi yang terlibat dan memberikan efek jera bagi pelaku korupsi di Indonesia.
Berbagai pertanyaan muncul seputar kasus ini, termasuk bagaimana uang tersebut mengalir, siapa saja yang terlibat, dan bagaimana sistem pengawasan di MA. Proses hukum yang transparan dan tuntas sangat penting untuk mengungkap kebenaran dan memastikan keadilan ditegakkan.
- Kasus ini melibatkan mantan pejabat MA, Zarof Ricar.
- Uang sebesar Rp50 miliar diterima untuk mengurus perkara perdata terkait kasus gula Marubeni.
- Zarof Ricar juga didakwa melakukan pemufakatan jahat dan menerima gratifikasi.
- Kasus ini menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi dan akuntabilitas di MA.
Sidang ini diharapkan dapat mengungkap seluruh fakta dan memberikan keadilan bagi semua pihak. Publik menantikan proses hukum yang adil dan transparan untuk memastikan kepercayaan terhadap sistem peradilan tetap terjaga. Kejadian ini juga menjadi pengingat pentingnya reformasi dan peningkatan pengawasan di lembaga peradilan untuk mencegah terjadinya korupsi di masa mendatang.