Mengapa Pengelolaan Perikanan Selat Benggala Perlu Diperkuat? DKP Aceh Soroti Tantangan Krusial
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh memperkuat monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan Selat Benggala, menyusul temuan alat tangkap tidak selektif dan stok ikan yang terancam.

Banda Aceh, 1 Agustus 2024 – Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh secara proaktif mengambil langkah strategis untuk mengoptimalkan pengelolaan perikanan karang dan demersal di perairan Selat Benggala. Penguatan monitoring dan evaluasi (monev) ini dilakukan demi memastikan keberlanjutan sumber daya laut yang krusial bagi perekonomian lokal.
Kepala DKP Aceh, Aliman, pada Kamis (31/7) di Banda Aceh, menegaskan urgensi monev tersebut. Menurutnya, evaluasi berkala sangat diperlukan untuk mengidentifikasi dan mengatasi berbagai permasalahan yang menghambat pengelolaan perikanan yang optimal di wilayah tersebut.
Kegiatan monev ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lembaga adat Panglima Laot. Kolaborasi lintas sektor ini diharapkan mampu menghasilkan rumusan rencana tindak lanjut yang komprehensif dan implementatif.
Tantangan dalam Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan
Hasil kajian monev awal pada tahun 2024 menunjukkan beberapa aspek pengelolaan perikanan di Selat Benggala masih memerlukan perhatian serius. Salah satu isu utama adalah penggunaan alat tangkap yang belum selektif oleh sebagian nelayan.
Praktik ini menyebabkan tertangkapnya ikan berukuran kecil atau remaja, yang berpotensi mengganggu regenerasi stok ikan. Kondisi ini bertentangan dengan amanat Peraturan Gubernur Aceh Nomor 3 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Perairan Aceh 2023-2027.
Selain itu, aspek sosial ekonomi nelayan juga menjadi sorotan. Fluktuasi harga ikan yang cenderung rendah berdampak langsung pada pendapatan nelayan, menyebabkan nilai tukar nelayan rendah dan penurunan angka produksi. Manfaat dari kawasan konservasi pun belum sepenuhnya dirasakan oleh komunitas nelayan setempat, menambah kompleksitas permasalahan.
Ancaman Penangkapan Merusak dan Status Stok Ikan
Tantangan lain yang dihadapi adalah masih maraknya praktik penangkapan ikan yang merusak, seperti penggunaan bahan peledak dan beracun. Aktivitas ilegal ini tidak hanya merusak ekosistem laut, tetapi juga mengancam keberlanjutan sumber daya ikan secara jangka panjang.
Kondisi stok ikan karang dan demersal di Selat Benggala menunjukkan tren mengkhawatirkan. Data rentan waktu 2019-2023 mengungkapkan bahwa tiga spesies, yaitu ikan kuwe (dua jenis), kerapu merah, dan lencam sisik, berstatus pemanfaatan berlebihan (overfished).
Intensitas kegiatan penangkapan yang tinggi, ditambah dengan praktik penangkapan yang tidak ramah lingkungan, menjadi penyebab utama kondisi ini. DKP Aceh menekankan pentingnya responsifitas unit perikanan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat untuk mengatasi masalah ini secara efektif.
Langkah Penguatan dan Harapan ke Depan
Menyikapi berbagai permasalahan tersebut, Kepala DKP Aceh, Aliman, menegaskan bahwa langkah monev pada tahun ini perlu diperkuat secara signifikan. Penguatan ini bertujuan agar pengelolaan perikanan di Selat Benggala dapat berjalan optimal, selaras dengan prinsip-prinsip keberlanjutan.
DKP Aceh berharap kegiatan monev ini dapat merumuskan rencana tindak lanjut yang konkret terhadap hasil evaluasi implementasi Rencana Aksi Pengelolaan Perikanan (RAPP) karang dan demersal. Rencana ini diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap RAPP Aceh yang berasaskan manfaat, kelestarian, keadilan, kehati-hatian, dan keberlanjutan.
Dengan demikian, upaya kolektif ini diharapkan mampu menciptakan ekosistem perikanan yang sehat dan berkelanjutan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan nelayan di Selat Benggala.