Miris! PHK Ancam Insan Pers di Hari Buruh: Jasa Mereka untuk Bangsa Terlupakan?
Gelombang PHK di media massa memprihatinkan, mengancam keberlangsungan pers dan demokrasi di Indonesia, khususnya di Hari Buruh tahun 2025.

Di tengah peringatan Hari Buruh 2025, kabar pahit menerpa insan pers Indonesia. Pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai media massa menjadi sorotan, bahkan video jurnalis televisi yang menangis saat menyampaikan kabar PHK rekan seprofesinya viral di media sosial. Banyak jurnalis kehilangan pekerjaan, meninggalkan tugas mereka dalam menghadirkan informasi kepada masyarakat. Ini bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Selama ini, insan media aktif membela hak-hak buruh dan kaum marginal. Ironisnya, ketika mereka sendiri menghadapi PHK, mereka seakan terlupakan dan tak mendapat dukungan yang memadai. Kegagahan mereka dalam meliput perjuangan kaum tertindas kini sirna, tergantikan oleh kepedihan kehilangan mata pencaharian dan masa depan yang tidak pasti. Jasa-jasa besar mereka dalam memajukan bangsa, dari perjuangan kemerdekaan hingga era reformasi, seakan dilupakan begitu saja.
Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat luas seolah melupakan peran vital pers dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aliran iklan bergeser ke media sosial yang lebih murah, meninggalkan media konvensional yang semakin terhimpit secara finansial. Situasi ini membutuhkan kesadaran kolektif untuk menyelamatkan industri media konvensional yang menjadi pilar penting demokrasi.
Ancaman PHK dan Masa Depan Pers Indonesia
Fenomena PHK di media massa bukan hanya masalah individu, melainkan juga ancaman serius bagi keberlangsungan industri media secara keseluruhan. Media besar pun kesulitan menghadapi penurunan pendapatan iklan, apalagi media kecil di daerah. Jika tren ini berlanjut, bukan tidak mungkin media konvensional akan gulung tikar, meninggalkan kekosongan informasi yang berbahaya.
Media sosial, yang menjadi alternatif, tidak memiliki filter dan prinsip keberimbangan informasi yang ketat. Informasi sepihak, caci maki, dan serangan personal akan membanjiri ruang publik, mengancam kualitas demokrasi dan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, menjaga kelangsungan hidup pers konvensional adalah tanggung jawab bersama.
Ajakan ini bukan sekadar 'mengemis' iklan dari pemerintah, tetapi seruan untuk meningkatkan kepedulian terhadap media konvensional. Masyarakat dapat berkontribusi dengan membaca berita dari media konvensional dan mengklik tautan berita online. Dukungan ini akan membantu media bertahan dan menjalankan fungsi kontrol sosialnya.
Mantan Jurnalis: Kreativitas dan Ketahanan Mental
Bagi jurnalis yang terkena PHK, ini bukan akhir segalanya. Mereka memiliki keterampilan dan pengalaman berharga yang dapat diaplikasikan di bidang lain. Kemampuan menulis, meramu video, dan mengambil foto yang menarik, yang diperoleh melalui pendidikan formal dan pengalaman lapangan, dapat dimanfaatkan untuk menjadi kreator konten media sosial atau memulai bisnis sendiri.
Etos kerja yang tinggi, ketahanan mental, dan kemampuan bekerja di bawah tekanan adalah aset berharga yang dimiliki mantan jurnalis. Mereka terbiasa mencari data, mengolah informasi, dan menyajikannya secara menarik. Keahlian ini menjadi bekal berharga untuk menghadapi tantangan kehidupan selanjutnya. Seperti kata pepatah, "tidak ada kata mati bagi seorang wartawan", semangat pantang menyerah harus tetap berkobar.
Keterampilan yang dimiliki para jurnalis, yang didapat melalui pendidikan dan pengalaman bertahun-tahun, merupakan modal berharga untuk beradaptasi dengan perkembangan dunia digital. Mereka dapat memanfaatkan keahlian tersebut untuk berkarya di platform digital dan menciptakan peluang ekonomi baru.
PHK di media massa merupakan permasalahan kompleks yang memerlukan solusi komprehensif. Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat harus bahu-membahu untuk menjaga kelangsungan hidup pers konvensional. Keberadaan pers yang sehat dan independen sangat penting untuk menjaga demokrasi dan kehidupan berbangsa dan bernegara.