OJK Terapkan Kebijakan Buyback Saham Tanpa RUPS: Solusi Jangka Pendek atau Risiko Governance?
Kebijakan OJK terkait pembelian kembali saham tanpa RUPS dinilai efektif jangka pendek, namun berisiko mengurangi transparansi dan hanya solusi sementara untuk IHSG yang melemah.

Jakarta, 20 Maret 2025 - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini memberlakukan kebijakan baru yang memungkinkan emiten melakukan 'buyback' atau pembelian kembali saham tanpa perlu melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Kebijakan ini diterapkan sebagai respons terhadap tekanan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang ditandai dengan penurunan signifikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 1.682 poin atau minus 21,28 persen sejak 19 September 2024 hingga 18 Maret 2025.
Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto, memberikan pandangannya terkait kebijakan kontroversial ini. Ia menilai kebijakan buyback tanpa RUPS memberikan fleksibilitas bagi emiten untuk menstabilkan harga saham di tengah volatilitas pasar yang tinggi. Namun, efektivitasnya dipertanyakan dalam jangka panjang. Rully menekankan bahwa kebijakan ini hanya akan berdampak positif pada kenaikan harga saham dalam jangka pendek, guna meningkatkan kepercayaan investor.
Meskipun kebijakan ini diharapkan dapat menstabilkan IHSG, Rully menyoroti potensi risiko dari sisi tata kelola perusahaan (governance). Tanpa pengawasan ketat melalui RUPS, transparansi perusahaan dalam melakukan buyback saham berpotensi berkurang. Ia juga menambahkan bahwa kebijakan ini mungkin hanya solusi sementara yang tidak mengatasi masalah mendasar pelemahan IHSG.
Kebijakan Buyback Tanpa RUPS: Antara Fleksibilitas dan Transparansi
Rully menjelaskan bahwa kelemahan IHSG sepanjang tahun 2025 terutama disebabkan oleh rendahnya optimisme pelaku pasar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Buyback saham, meskipun memberikan solusi jangka pendek, tidak dapat secara langsung mendongkrak IHSG ke level sebelumnya. Oleh karena itu, kebijakan ini dinilai sebagai solusi sementara yang tidak menyelesaikan akar permasalahan utama.
Kebijakan buyback saham tanpa RUPS berlaku selama enam bulan sejak surat resmi OJK tertanggal 18 Maret 2025. Penerapannya wajib mengikuti ketentuan POJK Nomor 29 Tahun 2023 tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Perusahaan Terbuka, khususnya bagi perusahaan yang mengalami fluktuasi pasar yang signifikan.
Meskipun memberikan fleksibilitas bagi emiten, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan tentang keseimbangan antara fleksibilitas dan transparansi. Perlu pengawasan ketat untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak disalahgunakan dan tetap menjaga kepercayaan investor dalam jangka panjang.
Dampak Jangka Panjang dan Risiko Governance
Rully menekankan perlunya analisis lebih mendalam terhadap dampak jangka panjang kebijakan ini. Ia memperingatkan potensi penurunan transparansi karena proses buyback tidak melalui RUPS. Hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran bagi investor dan berdampak negatif terhadap kepercayaan pasar.
Lebih lanjut, Rully menyoroti pentingnya mengatasi masalah fundamental yang menyebabkan pelemahan IHSG, seperti meningkatkan optimisme pelaku pasar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kebijakan buyback tanpa RUPS, menurutnya, hanya menangani gejala, bukan akar permasalahannya.
Ke depannya, diperlukan evaluasi berkala terhadap efektivitas kebijakan ini dan langkah-langkah pendukung untuk meningkatkan transparansi dan kepercayaan investor. Perlu diingat bahwa stabilitas pasar saham membutuhkan solusi komprehensif yang mengatasi permasalahan struktural, bukan hanya solusi jangka pendek.
Kesimpulannya, kebijakan buyback saham tanpa RUPS merupakan upaya OJK untuk merespon kondisi pasar yang fluktuatif. Meskipun memberikan fleksibilitas bagi emiten, potensi risiko governance dan dampak jangka panjangnya perlu dikaji lebih lanjut. Solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan diperlukan untuk mengatasi pelemahan IHSG dan meningkatkan kepercayaan investor.