Okupansi Hotel di Bali Menurun, PHRI Curiga Akomodasi Ilegal Jadi Biang Kerok
Penurunan okupansi hotel di Bali di tengah membanjirnya wisatawan asing diduga kuat disebabkan oleh maraknya akomodasi ilegal yang tak membayar pajak dan mengganggu data kepariwisataan.

Denpasar, 29 April 2025 - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali mengungkapkan dugaan mengejutkan terkait penurunan okupansi hotel di Pulau Dewata. Meskipun jumlah wisatawan, khususnya wisatawan asing, terbilang tinggi, tingkat hunian hotel justru menurun. Setelah melakukan penelusuran, PHRI Bali menduga kuat hal ini disebabkan oleh menjamurnya akomodasi ilegal yang menyedot minat wisatawan.
Sekjen PHRI Bali, Perry Marcus, dalam rapat koordinasi di Denpasar menyatakan bahwa rata-rata okupansi hotel sejak awal tahun 2025 mengalami penurunan sekitar 10-20 persen. Padahal, normalnya okupansi hotel di Bali mencapai 60-70 persen dari total 150 ribu kamar yang tersedia. "Data yang ada tingkat hunian memang turun dibandingkan dengan kedatangan, khususnya wisatawan asing, akhirnya kita ketemu, ternyata wisatawan ini menginap di akomodasi-akomodasi ilegal, terserap ke sana," ungkap Perry.
Penurunan okupansi ini berdampak signifikan terhadap pelaku usaha perhotelan legal. Mereka terpaksa menerapkan strategi bertahan hidup dengan menurunkan harga kamar untuk tetap menarik pelanggan. "Ini sangat memukul karena dengan turunnya okupansi, seperti data dari Bali Hotel Association, mereka akhirnya mode bertahan hidup dengan menjual kamar dengan harga turun," ujar Perry menambahkan.
Akomodasi Ilegal: Ancaman Bagi Pariwisata Bali
PHRI Bali telah menemukan sejumlah bukti keberadaan akomodasi ilegal ini. Mereka menemukan sejumlah perumahan yang dialihfungsikan menjadi akomodasi layaknya hotel dan vila. Akomodasi-akomodasi ini tidak hanya mengganggu data kepariwisataan, tetapi juga merugikan pengusaha yang telah terdaftar dan taat pajak karena beroperasi secara sembunyi-sembunyi dan tanpa membayar pajak.
Modus operandi akomodasi ilegal ini beragam. Beberapa di antaranya merupakan perumahan milik warga lokal yang disewakan kepada turis asing. Para turis asing ini kemudian menawarkan kamar-kamar tersebut kepada wisatawan lainnya dengan harga yang lebih tinggi. Ada pula kasus di mana akomodasi ilegal dimiliki oleh Warga Negara Asing (WNA) namun menggunakan nama Warga Negara Indonesia (WNI) untuk izin kepemilikan.
Meskipun fasilitas dan harga yang ditawarkan tidak jauh berbeda dengan akomodasi legal, perbedaan utama terletak pada tingkat privasi yang lebih tinggi ditawarkan oleh akomodasi ilegal. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian wisatawan.
Dugaan PHRI Bali diperkuat oleh data dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Bali. Data tersebut menunjukkan peningkatan pembangunan hotel pada tahun 2023, namun beralih ke dominasi pembangunan perumahan pada tahun 2024. Hal ini mengindikasikan adanya pergeseran fungsi bangunan menjadi akomodasi ilegal.
Peran Platform Digital dan Solusi ke Depan
Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata, Rizki Handayani Mustafa, mengakui adanya permasalahan ini dan berjanji akan mengkajinya lebih lanjut. Ia juga menyoroti peran platform pemesanan digital yang diduga ikut memfasilitasi penyewaan akomodasi ilegal, meskipun belum ada data pasti mengenai jumlah akomodasi ilegal tersebut.
Rizki menekankan pentingnya kerja sama antara pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk mengatasi masalah ini. "Tujuannya kita bertemu untuk ini sekarang karena harus kesepakatan bersama antara pemerintah dan semua pentahelix untuk kemudian melakukan ini (penelusuran), kita harus berdasarkan data jadi penguatan data base ini akan kita kembangkan," tegas Rizki.
Kesimpulannya, maraknya akomodasi ilegal di Bali menjadi ancaman serius bagi industri pariwisata. Kerja sama dan langkah tegas dari pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini dan melindungi sektor pariwisata Bali yang vital bagi perekonomian Indonesia.