Pilkada 2024: Tantangan Integritas, Calon Tunggal, dan Biaya Politik Tinggi
Kepala BSKDN soroti Pilkada 2024 yang diwarnai calon tunggal, pelanggaran netralitas ASN, biaya politik tinggi, dan rendahnya transparansi, menekankan perlunya pemimpin berintegritas dan pilkada yang demokratis.

Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri (BSKDN) Kementerian Dalam Negeri menyoroti sejumlah tantangan dalam Pilkada Serentak 2024. Yusharto Huntoyungo, Kepala BSKDN, menekankan pentingnya pilkada melahirkan pemimpin daerah yang kuat, bersih, dan berintegritas. Pernyataan ini disampaikan Kamis lalu di Jakarta.
Salah satu isu krusial adalah keberadaan 37 daerah dengan calon tunggal, terbanyak di Sumatera Utara (6 daerah). Kondisi ini menghambat terciptanya kompetisi sehat dalam demokrasi, menurut Yusharto.
Selain itu, evaluasi Pilkada 2024 juga menemukan pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). BSKDN berharap pengawasan dan penegakan aturan diperkuat untuk mencegah hal serupa di masa mendatang.
Biaya Politik Tinggi: Masalah Transparansi
Biaya politik tinggi juga menjadi perhatian serius. Titi Anggraini dari Perludem menyoroti minimnya transparansi dalam pembiayaan kampanye. Ia mengungkapkan, 'Problemnya politik biaya tinggi itu di ruang gelap, kalau kita baca ruang-ruang terangnya laporan dana kampanyenya tidak ada itu politik biaya tinggi. Tidak ada instrumen kuantitatif formal resmi yang bisa menunjukkan itu (politik biaya tinggi).' Kurangnya transparansi ini menghambat terwujudnya demokrasi yang sehat dan transparan.
Pilkada Ideal: Pancasila, UUD 1945, dan Integritas
Djohermansyah Djohan, Guru Besar IPDN, menambahkan pilkada ideal harus berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945, serta menghormati kekhususan daerah. Ia menekankan pentingnya pilkada yang kompetitif, aman, dan nyaman untuk menghasilkan pemimpin yang kuat dan bersih. 'Pemilihan pemimpin harus dilakukan secara free dan fair, secara bebas, jujur, adil. Lalu juga harus aman dan nyaman. Tidak boleh kemudian pemilihan itu menimbulkan korban. Itu harus dihindari,' ujarnya.
Fenomena 'Pokoknya Menang' dan Anomali Sistem
Siti Zuhro dari BRIN menyoroti fenomena 'pokoknya menang' yang menciptakan iklim politik tidak sehat. Pilkada melawan 'kotak kosong' juga disebut sebagai indikasi sistem yang kurang ideal. Ia menyarankan agar upaya perbaikan difokuskan pada penguatan hukum, penegakan etika, dan peningkatan literasi politik masyarakat. Siti menambahkan, 'Ketika kita memaksakan satu sistem yang tidak aplikatif untuk kondisi kita dan tercerabut dari akar kita, maka dampaknya adalah hilangnya etika, bahkan hukum sering kali dilanggar.'
Kesimpulannya, Pilkada 2024 menghadapi beragam tantangan, mulai dari calon tunggal hingga biaya politik tinggi dan rendahnya transparansi. Pembenahan sistem dan peningkatan kesadaran masyarakat penting untuk menciptakan pilkada yang demokratis dan melahirkan pemimpin berintegritas.