Polri Siap Beradaptasi Usai Putusan MK Revisi UU ITE
Mahkamah Konstitusi (MK) telah merevisi UU ITE, dan Polri siap beradaptasi dengan putusan tersebut yang kini membatasi pasal pencemaran nama baik dan hoaks.

Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengeluarkan putusan yang merevisi beberapa pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Putusan ini berdampak signifikan terhadap penegakan hukum di Indonesia, khususnya terkait pasal pencemaran nama baik dan penyebaran hoaks. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), sebagai lembaga penegak hukum, menyatakan siap beradaptasi dengan putusan MK tersebut.
Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, menyampaikan kesiapan Polri untuk menyesuaikan diri dengan aturan hukum terbaru. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers di Jakarta pada Rabu, 30 April 2024. Polri menegaskan komitmennya untuk memberikan perlindungan dan pelayanan terbaik kepada masyarakat sesuai dengan putusan MK yang telah berkekuatan hukum.
Putusan MK yang dimaksud terdiri dari dua poin utama. Pertama, MK membatasi pasal yang mengatur tentang pencemaran nama baik dalam UU ITE. Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE yang sebelumnya dianggap terlalu luas kini dikecualikan untuk lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan. Hal ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan pasal tersebut.
Penjelasan Putusan MK Mengenai Pencemaran Nama Baik
MK menyatakan frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Putusan ini memberikan batasan yang lebih jelas, sehingga pasal tersebut tidak lagi mudah disalahgunakan untuk membungkam kritik atau pendapat.
Selain itu, MK juga menegaskan bahwa Pasal 27A dan kaitannya dengan Pasal 45 ayat (5) UU ITE merupakan delik aduan. Artinya, proses hukum hanya dapat berjalan jika ada pengaduan dari korban pencemaran nama baik. Ini merupakan langkah penting untuk melindungi masyarakat dari laporan yang tidak berdasar.
Dengan adanya pengecualian bagi lembaga pemerintah dan sekelompok orang dengan identitas spesifik, MK berupaya menyeimbangkan perlindungan nama baik dengan kebebasan berekspresi.
Putusan MK Terkait Penyebaran Hoaks
Putusan MK yang kedua berkaitan dengan penyebaran informasi atau dokumen elektronik yang memuat pemberitahuan bohong atau hoaks. MK menjelaskan makna kata 'kerusuhan' dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE. Menurut MK, 'kerusuhan' yang dimaksud adalah kerusuhan fisik di ruang publik, bukan di ruang digital.
Penjelasan ini memberikan kepastian hukum dan membatasi ruang lingkup pasal tersebut. Aparat penegak hukum kini hanya dapat memproses hukum penyebaran berita bohong yang menimbulkan kerusuhan fisik di masyarakat. Penyebaran hoaks di dunia maya yang tidak berujung pada kerusuhan fisik tidak termasuk dalam ketentuan pasal ini.
Dengan putusan ini, MK berupaya mencegah penyalahgunaan UU ITE untuk membatasi kebebasan berekspresi di dunia digital, sekaligus tetap menjaga ketertiban umum di masyarakat.
Kesimpulan
Putusan MK ini memberikan dampak yang signifikan terhadap penerapan UU ITE. Polri menyatakan siap beradaptasi dan akan menjalankan tugas sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Putusan ini diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara perlindungan hukum dan kebebasan berekspresi di Indonesia.