PPDI Sulsel Kecam Tuntutan Ringan Kasus Kekerasan Seksual Disabilitas di Barru
PPDI Sulsel menyayangkan tuntutan ringan terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas di Barru, menilai JPU tidak mempertimbangkan kondisi korban.

Dewan Pengurus Daerah (DPD) Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Sulawesi Selatan menyayangkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Kabupaten Barru terhadap terdakwa AB (71) dalam kasus kekerasan seksual terhadap seorang perempuan penyandang disabilitas. Tuntutan tiga tahun penjara dinilai sangat ringan dan tidak mempertimbangkan kondisi rentan korban.
Ketua DPD PPDI Sulsel, Faluphy Mahmud, menyatakan bahwa JPU tidak mempertimbangkan kondisi korban yang merupakan perempuan dengan disabilitas fisik dan intelektual. Faluphy menambahkan bahwa korban memiliki tingkat kematangan mental yang setara dengan anak-anak, sehingga seharusnya mendapatkan perlindungan lebih.
Kasus ini menjadi sorotan karena dianggap tidak memenuhi rasa keadilan, terutama bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas. PPDI Sulsel mendesak agar kasus ini dievaluasi kembali dan pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Tuntutan JPU Dipertanyakan Hakim
Faluphy menjelaskan bahwa berdasarkan hasil asesmen psikiater, korban yang berusia 19 tahun memiliki empat lapis kerentanan. Kerentanan tersebut meliputi identitasnya sebagai perempuan, penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas intelektual, dan tingkat kematangan mental yang setara anak-anak. Kondisi ini seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam menentukan tuntutan.
Dalam sidang sebelumnya, Ketua Majelis Hakim Imelda bahkan mempertanyakan langsung tuntutan JPU yang dinilai janggal. Hakim Imelda menanyakan dasar tuntutan tiga tahun tersebut, mengingat perkara ini melibatkan kekerasan seksual terhadap anak dengan disabilitas ganda.
"Apakah anda yakin, pak Jaksa, atas tuntutan tiga tahun ini? Ini perkara luar biasa. Ini soal kekerasan seksual terhadap anak yang bahkan mengalami disabilitas ganda," tutur Hakim Imelda seperti ditirukan Faluphy dengan nada tegas.
PPDI Sulsel menilai bahwa tuntutan yang diajukan JPU tidak sesuai dengan fakta dan kondisi yang ada. Tuntutan tersebut dianggap meremehkan dampak kekerasan seksual terhadap korban yang memiliki kerentanan berlapis.
UU TPKS Tidak Diindahkan
Menurut PPDI Sulsel, JPU seharusnya merujuk pada Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang menyebutkan ancaman hukuman maksimal terhadap pelaku kekerasan seksual adalah 15 tahun pidana penjara. Pasal 14 UU TPKS juga menegaskan bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas semestinya dikenakan pemberatan hukuman sepertiga dari ancaman maksimal.
Faluphy Mahmud menekankan bahwa tuntutan tiga tahun ini jelas mengabaikan ketentuan Undang-undang dan rasa keadilan publik. Keputusan ini bukan hanya keputusan personal JPU, tetapi keputusan institusional yang melalui mekanisme berjenjang di internal kejaksaan.
PPDI Sulsel juga mendorong Jaksa Agung Republik Indonesia untuk segera mengevaluasi Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Barru. Evaluasi ini diperlukan karena Kajari Barru diduga melanggar ketentuan normatif dan mengabaikan perlindungan terhadap kelompok rentan.
Tuntutan ringan ini menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual, terutama yang melibatkan penyandang disabilitas. PPDI Sulsel berharap agar kasus ini dapat menjadi perhatian serius bagi aparat penegak hukum dan pemerintah.
Kasus ini menyoroti pentingnya penegakan hukum yang adil dan berpihak pada korban, terutama mereka yang memiliki kerentanan khusus. Perlindungan terhadap penyandang disabilitas dari segala bentuk kekerasan harus menjadi prioritas utama.