Ramadhan di Aceh: Permintaan Cincau Melonjak Tajam!
Permintaan cincau di Banda Aceh meningkat drastis selama Ramadhan 2025, meskipun lebih rendah dari tahun sebelumnya, menunjukkan peran minuman tradisional dalam tradisi bulan puasa Aceh.

Permintaan cincau di Banda Aceh mengalami peningkatan signifikan selama bulan Ramadhan 1446 Hijriah atau 2025 Masehi. Hal ini terlihat dari peningkatan produksi perajin cincau lokal, seperti yang dialami Djoek Fa, seorang perajin cincau di Banda Aceh. Peningkatan ini terjadi sejak awal Ramadhan dan diperkirakan akan berlanjut hingga pertengahan bulan, sebelum kembali normal seperti biasanya. Minuman tradisional ini menjadi pilihan populer selama bulan puasa di Aceh.
Djoek Fa, yang merupakan generasi ketiga perajin cincau keluarganya, menuturkan bahwa produksinya meningkat drastis selama beberapa hari pertama Ramadhan. Ia memproduksi hingga 400 kaleng cincau per hari, jauh lebih tinggi dibandingkan hari biasa yang hanya sekitar 40 hingga 50 kaleng. Meskipun mengalami penurunan jika dibandingkan dengan Ramadhan tahun sebelumnya, peningkatan produksi ini tetap signifikan jika dibandingkan dengan hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan.
Meskipun permintaan tahun ini lebih rendah dari tahun lalu (400-an kaleng dibandingkan 500-700 kaleng tahun lalu), peningkatan permintaan tetap terjadi selama bulan Ramadhan. Hal ini menunjukkan bahwa cincau tetap menjadi minuman yang populer dan digemari masyarakat Aceh selama bulan puasa. Minuman tersebut tidak hanya dipasarkan di Banda Aceh dan sekitarnya, tetapi juga merambah ke berbagai kabupaten/kota di Provinsi Aceh, baik di wilayah pantai barat maupun pantai timur.
Cincau Aceh: Dari Tapaktuan hingga Bireuen
Jangkauan pemasaran cincau produksi Djoek Fa cukup luas. Ia memasarkan produknya hingga ke Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan di pantai barat, bahkan hingga ke Pulau Simeulue. Di pantai timur, cincau buatannya juga laris manis hingga ke Kabupaten Bireuen. Hal ini menunjukkan tingginya permintaan dan popularitas cincau sebagai minuman tradisional Aceh.
Harga cincau tetap stabil di angka Rp25.000 per kaleng, meskipun harga bahan baku mengalami kenaikan menjadi Rp35.000 hingga Rp40.000 per kilogram. Djoek Fa menyebutkan bahwa pasokan bahan baku selama ini lancar, didatangkan dari Sumatera Utara dan Pulau Jawa, karena di Aceh sendiri belum ada produksi bahan baku cincau yang memadai.
Meskipun ada kendala berupa keterlambatan pasokan bahan baku terkadang terjadi, usaha cincau keluarga Djoek Fa tetap berjalan lancar. Hal ini menunjukkan daya tahan dan adaptasi usaha kecil menengah (UKM) dalam menghadapi tantangan ekonomi.
Tantangan dan Peluang Usaha Cincau di Aceh
Meskipun permintaan cincau mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu, peningkatan permintaan selama Ramadhan tetap menjadi bukti popularitas minuman tradisional ini. Hal ini membuka peluang bagi pengembangan usaha cincau di Aceh, terutama dalam hal inovasi produk dan perluasan pemasaran. Peningkatan kualitas dan diversifikasi produk dapat menjadi strategi untuk meningkatkan daya saing dan menarik minat konsumen yang lebih luas.
Pemerintah daerah juga dapat berperan dalam mendukung perkembangan usaha cincau di Aceh, misalnya melalui pelatihan dan pendampingan bagi para perajin, serta fasilitasi akses pasar yang lebih luas. Dengan dukungan yang tepat, usaha cincau di Aceh dapat berkembang dan menjadi salah satu ikon kuliner Aceh yang dikenal secara nasional bahkan internasional.
Ke depan, perlu adanya inovasi untuk menjaga daya saing cincau di tengah persaingan minuman modern. Eksplorasi rasa baru, kemasan yang menarik, dan strategi pemasaran yang efektif dapat menjadi kunci keberhasilan usaha cincau di Aceh.
Secara keseluruhan, peningkatan permintaan cincau selama Ramadhan di Aceh menunjukkan pentingnya pelestarian dan pengembangan produk-produk tradisional. Minuman ini tidak hanya sekadar minuman pelepas dahaga, tetapi juga bagian dari budaya dan tradisi masyarakat Aceh yang perlu dijaga dan dilestarikan.