Romli Atmasasmita Dorong Transparansi Dana Sitaan Korupsi
Perumus UU Tipikor mendesak pemerintah untuk transparan soal penggunaan dana sitaan korupsi selama 25 tahun terakhir, yang menurutnya jika dikumpulkan bisa menutup utang luar negeri Indonesia.
Bandung, 24 Januari 2024 - Romli Atmasasmita, salah satu perumus Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menyoroti kurangnya transparansi penggunaan dana sitaan korupsi di Indonesia. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran ini mengungkapkan keprihatinannya terkait hal ini.
Selama 25 tahun implementasi UU anti-korupsi, belum ada laporan resmi pemerintah mengenai penerimaan dan penggunaan dana hasil sitaan korupsi, selain data tahunan penyitaan oleh KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian. Romli mempertanyakan hal ini, terutama terkait kurangnya transparansi pemerintah atas pengelolaan dana tersebut.
"Ini jadi pertanyaan saya selama 25 tahun ini. Sampai sekarang saya tidak pernah mendengar Menteri Keuangan mengumumkan pada publik, sudah terima sekian dari kejaksaan, dari KPK, lalu penggunaannya untuk apa," ungkap Romli di Kampus Unpad Bandung, Kamis. Ia menekankan pentingnya publik mengetahui alokasi dana tersebut, misalnya untuk bansos, BPJS, atau pos anggaran lainnya.
Romli memperkirakan, dana sitaan korupsi selama 25 tahun terakhir berpotensi besar, bahkan mungkin cukup untuk menyelesaikan permasalahan utang luar negeri Indonesia. Oleh karena itu, transparansi mutlak diperlukan untuk membangun kepercayaan publik.
Ia berharap pemerintah Presiden Prabowo Subianto memperhatikan hal ini dan meminta Kejaksaan, KPK, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menjelaskan penggunaan dana sitaan tersebut kepada publik. Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan meningkat karena rakyat mengetahui bagaimana dana hasil korupsi digunakan.
Meskipun UU Tipikor yang ia rumuskan tak secara spesifik mengatur kewajiban transparansi ini, Romli menekankan pentingnya peran serta masyarakat lewat LSM sebagai kontrol sosial. Namun, ia mengakui fungsi kontrol sosial tersebut belum berjalan optimal karena beberapa kendala internal LSM.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Romli mendorong revisi UU Tipikor yang saat ini telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Revisi ini harus mencakup aspek transparansi penggunaan dana sitaan korupsi. Selain itu, ia juga mengusulkan revisi UU KPK, terutama terkait Dewan Pengawas KPK. Menurut Romli, posisi dan kewenangan Dewan Pengawas KPK perlu diperjelas agar pengawasan terhadap KPK lebih efektif dan independen.
Romli menjelaskan, "Dewas itu di dalam struktur organisasi KPK. Bagaimana bisa bergerak, anggaran saja dari KPK, ini masalah. Lalu kemudian kewenangan, di dalam undang-undang KPK tugasnya ada, kewenangan enggak punya karena tidak diatur. Bayangkan tugasnya mengawasi rumah tapi tidak ada kewenangan menangkap maling. Ini masalah kita. Jadi undang-undang KPK perlu kita ubah, dewas keluar, jadi lembaga eksternal saja, sehingga lebih leluasa memeriksa."