Rupiah Menguat Tipis di Tengah Kekhawatiran Kebijakan Tarif AS
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diiringi kekhawatiran investor global atas kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump dan deflasi di Tiongkok.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami fluktuasi di tengah kekhawatiran investor global. Pelemahan rupiah ini dipicu oleh kebijakan tarif yang diterapkan Presiden AS Donald Trump dan kondisi deflasi yang dialami Tiongkok. Situasi ini menunjukkan kompleksitas dinamika ekonomi global dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia.
Pengamat mata uang, Ibrahim Assuabi, menjelaskan bahwa sikap hati-hati investor menjadi faktor utama pelemahan rupiah. Kebijakan tarif Trump yang sempat meningkatkan ketegangan perdagangan internasional, khususnya dengan Kanada, Meksiko, dan Tiongkok, turut mempengaruhi sentimen pasar. Meskipun Trump kemudian menunda beberapa tarif, kekhawatiran tetap ada, terutama terkait kebijakannya terhadap Tiongkok.
Kondisi deflasi di Tiongkok semakin memperparah situasi. Penurunan indeks harga produsen (PPI) dan inflasi month to month menunjukkan pelemahan ekonomi Tiongkok yang berdampak pada pasar global. Hal ini membuat investor cenderung lebih berhati-hati dalam berinvestasi, termasuk di pasar Indonesia, sehingga menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah.
Dampak Kebijakan Tarif AS dan Deflasi Tiongkok
Kebijakan tarif AS yang fluktuatif menciptakan ketidakpastian di pasar internasional. Kenaikan tarif impor barang dari negara lain, termasuk potensi kenaikan tarif terhadap barang-barang Indonesia, menimbulkan kekhawatiran bagi investor. Ketidakpastian ini mendorong investor untuk mengurangi investasi di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga menekan nilai tukar rupiah.
Sementara itu, deflasi di Tiongkok menunjukkan perlambatan ekonomi yang signifikan. Sebagai mitra dagang utama Indonesia, perlambatan ekonomi Tiongkok berdampak pada permintaan ekspor Indonesia. Penurunan permintaan ekspor dapat mengurangi aliran devisa ke Indonesia, yang pada akhirnya dapat menekan nilai tukar rupiah.
Tren deflasi di Tiongkok muncul di tengah Kongres Rakyat Nasional (NPC). Para pembuat kebijakan di Tiongkok sedang mempertimbangkan strategi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Data terkini tentang deflasi diperkirakan akan mengintensifkan diskusi tentang penerapan langkah-langkah stimulus yang lebih kuat untuk melawan melemahnya inflasi dan mendukung permintaan domestik.
"Data terkini dapat mengintensifkan diskusi tentang penerapan langkah-langkah stimulus yang lebih kuat untuk melawan melemahnya inflasi dan mendukung permintaan domestik," ujar Ibrahim Assuabi.
Respons Pasar dan Pergerakan Rupiah
Pada penutupan perdagangan hari Senin di Jakarta, nilai tukar rupiah justru menguat tipis hingga 73 poin atau 0,44 persen menjadi Rp16.367 per dolar AS. Meskipun sempat melemah, penguatan ini menunjukkan adanya koreksi pasar setelah sebelumnya mengalami tekanan. Penguatan ini juga menunjukkan adanya optimisme di tengah ketidakpastian global.
Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada hari yang sama juga tercatat menguat ke level Rp16.336 per dolar AS. Hal ini menunjukkan kestabilan nilai tukar rupiah meskipun masih berada di bawah tekanan dari faktor eksternal.
Penguatan rupiah ini bisa jadi merupakan reaksi sementara terhadap ketidakpastian pasar. Pergerakan nilai tukar rupiah ke depan masih akan sangat bergantung pada perkembangan ekonomi global, khususnya kebijakan tarif AS dan kondisi ekonomi Tiongkok. Investor akan terus memantau perkembangan situasi ini untuk mengambil keputusan investasi.
Secara keseluruhan, situasi ini menunjukkan betapa rentannya perekonomian Indonesia terhadap dinamika ekonomi global. Pemerintah dan Bank Indonesia perlu tetap waspada dan menyiapkan langkah-langkah antisipatif untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.