SPMB: Sistem Penerimaan Murid Baru yang Lebih Adil dan Transparan
Pemerintah luncurkan SPMB pada 2025 untuk sistem penerimaan peserta didik baru yang lebih adil dan transparan, mengatasi masalah PPDB sebelumnya dengan melibatkan sekolah swasta dan jalur penerimaan yang lebih fleksibel.
Jakarta, 31 Januari 2024 - Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) resmi mengganti sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB), efektif tahun 2025. Perubahan ini bukan sekadar pergantian nama, melainkan upaya besar untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil dan merata bagi seluruh siswa Indonesia. Langkah ini menjawab berbagai permasalahan PPDB sebelumnya, termasuk soal akses pendidikan yang terbatas.
SPMB dirancang untuk mengatasi berbagai kekurangan PPDB, seperti ketimpangan daya tampung sekolah negeri, praktik jual beli kursi, dan terbatasnya akses bagi siswa berprestasi di luar radius sekolah tertentu. Mendikdasmen, Abdul Mu'ti, menjelaskan bahwa sistem baru ini didasarkan pada kajian menyeluruh implementasi PPDB sejak 2017, melibatkan berbagai pihak, termasuk Kementerian Dalam Negeri. Tujuannya jelas: menciptakan sistem yang lebih transparan dan berkeadilan.
Perubahan signifikan terlihat pada jenjang SMP dan SMA. Di tingkat SMP, sistem SPMB mengatur ulang persentase penerimaan melalui berbagai jalur. Sementara itu, penerimaan siswa SMA akan lintas kabupaten/kota, dikelola di tingkat provinsi. Penerimaan siswa SD tetap menggunakan sistem yang ada.
SPMB mempertahankan empat jalur utama: domisili, afirmasi, prestasi, dan mutasi. Jalur domisili memprioritaskan siswa sesuai domisili. Jalur afirmasi membantu siswa dari keluarga kurang mampu dan penyandang disabilitas. Jalur prestasi kini mencakup prestasi akademik, non-akademik (olahraga, seni), dan kepemimpinan (OSIS, Pramuka). Terakhir, jalur mutasi untuk siswa yang pindah domisili karena orang tua pindah tugas atau anak guru.
Kuota masing-masing jalur disesuaikan untuk setiap jenjang. SD minimal 70 persen domisili, 15 persen afirmasi, maksimal 5 persen mutasi, dan tanpa jalur prestasi. SMP minimal 40 persen domisili, 20 persen afirmasi, maksimal 5 persen mutasi, dan minimal 25 persen prestasi. SMA minimal 30 persen domisili, 30 persen afirmasi, maksimal 5 persen mutasi, dan minimal 30 persen prestasi. Sistem ini memastikan kesempatan pendidikan yang setara bagi semua anak, melampaui keterbatasan zonasi sebelumnya.
Inovasi SPMB lainnya adalah keterlibatan sekolah swasta. Tujuannya adalah memastikan akses pendidikan berkualitas bagi siswa yang tidak diterima di sekolah negeri, sekaligus mengurangi kepadatan di sekolah negeri. Transparansi juga ditingkatkan; masyarakat dapat mengakses informasi daya tampung dan akreditasi sekolah negeri. Sekolah swasta diharapkan menjadi mitra strategis dalam perluasan akses pendidikan.
Dukungan datang dari berbagai pihak, termasuk Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Koordinator JPPI, Ubaid Matraji, mengapresiasi pelibatan sekolah swasta, menilai langkah ini memastikan hak anak bersekolah, terutama di daerah terbatas. JPPI juga menilai hal ini dapat meminimalisir praktik 'jual beli' kursi.
Implementasi SPMB tentu menghadapi tantangan. Salah satunya adalah kesiapan pemerintah daerah. Pemerintah pusat akan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk memastikan dukungan optimal dari seluruh daerah. Sosialisasi masif juga krusial, mengingat banyak orang tua masih berfokus pada sistem zonasi PPDB. Edukasi tentang SPMB sangat penting.
Pergantian dari PPDB ke SPMB menandai langkah besar reformasi pendidikan Indonesia. Dengan jalur penerimaan yang lebih fleksibel dan keterlibatan sekolah swasta, diharapkan sistem yang lebih adil, transparan, dan mampu memenuhi kebutuhan pendidikan semua kalangan dapat terwujud. SPMB adalah langkah awal menuju pendidikan Indonesia yang lebih berkeadilan.