Survei ILO-BRIN Ungkap Pelanggaran Hak Tragis Awak Kapal Perikanan Indonesia
Survei ILO-BRIN temukan pelanggaran hak pekerja awak kapal perikanan Indonesia, termasuk kerja paksa, yang melibatkan ribuan pekerja di 18 pelabuhan.

Jakarta, 11 Maret 2024 - Sebuah survei kolaboratif antara Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengungkap fakta mengejutkan terkait pelanggaran hak-hak pekerja awak kapal perikanan di Indonesia. Survei yang melibatkan 3.396 pekerja di 18 pelabuhan di seluruh Indonesia ini menemukan berbagai praktik ilegal dan tidak manusiawi, termasuk kerja paksa.
Temuan ini dipublikasikan pada Selasa lalu dalam acara Peluncuran Hasil Survei ILO-BRIN di Jakarta. Kepala Pusat Riset Kependudukan BRIN, Nawawi, mengungkapkan keprihatinan mendalam atas temuan tersebut. "Banyak sekali pelanggaran yang tidak sesuai dengan aturan maupun standar keselamatan kerja, tapi terjadi di lapangan yang kita temukan," ujarnya. Survei yang berlangsung dari November 2023 hingga September 2024 ini dianggap sebagai riset paling komprehensif mengenai kondisi kerja di sektor perikanan tangkap Indonesia, mencakup wilayah, responden, dan kategori pelabuhan yang luas. Data ini diharapkan dapat menjadi acuan penting bagi para pembuat kebijakan dalam memperbaiki kondisi tersebut.
Ekonom Senior ILO, Francesca Francavilla, memaparkan sembilan temuan utama survei yang berfokus pada isu ketenagakerjaan awak kapal perikanan. Temuan ini menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip dan hak-hak dasar di tempat kerja. Data yang dikumpulkan menunjukkan betapa buruknya kondisi yang dihadapi oleh para pekerja di sektor ini, dan betapa mendesaknya upaya perbaikan yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.
Rekrutmen Ilegal dan Kontrak Kerja yang Minim
Salah satu temuan utama adalah proses rekrutmen yang tidak sesuai dengan hukum nasional dan standar internasional, khususnya Konvensi ILO 2007 (No. 188). Francesca menjelaskan, "Berdasarkan data kami, sebanyak 61,6 persen membayar biaya rekrutmen atau biaya lainnya yang terkait. Sebagai contoh biaya untuk transportasi, kelengkapan dokumen, training dan biaya sejenis lainnya." Sistem ini meningkatkan risiko jeratan utang dan membuat awak kapal rentan terhadap kerja paksa dan perdagangan orang. Lebih dari 90 persen awak kapal juga tidak memiliki kontrak kerja tertulis, memperparah kerentanan mereka terhadap eksploitasi.
Rendahnya literasi dan pemahaman tentang isu-isu ketenagakerjaan menjadi faktor penyebab utama minimnya kontrak kerja tertulis. Hal ini menyebabkan para pekerja sulit untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan rentan terhadap perlakuan yang tidak adil. Kurangnya perlindungan hukum ini semakin memperburuk kondisi kerja yang sudah buruk. Kondisi ini membutuhkan perhatian serius dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk memberikan edukasi dan perlindungan hukum yang memadai bagi para pekerja.
Selain itu, survei juga menemukan bahwa sebagian besar awak kapal bekerja dengan jam kerja berlebihan dan pola kerja serta istirahat yang tidak teratur. Kondisi ini berdampak buruk pada kesehatan dan keselamatan mereka. Kebijakan yang mengatur jam kerja dan waktu istirahat yang memadai sangat dibutuhkan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan para pekerja.
Upah Minim, Jaminan Sosial Terbatas, dan Risiko Kerja Tinggi
Hanya 4,5 persen awak kapal yang menerima upah reguler atau kombinasi upah reguler dan metode pembayaran alternatif. Mayoritas pekerja menerima upah yang tidak layak dan tidak menjamin kehidupan yang layak. Lebih memprihatinkan lagi, 71 persen awak kapal tidak terdaftar dalam BPJS Kesehatan, dan lebih dari separuhnya tidak memiliki akses ke jaminan sosial ketenagakerjaan. Kondisi ini menunjukkan betapa minimnya perlindungan sosial yang diberikan kepada para pekerja di sektor ini.
Para awak kapal juga menghadapi berbagai risiko pekerjaan, termasuk cuaca ekstrem, kurangnya alat pelindung diri (APD), dan kondisi kapal yang tidak memadai. Minimnya tindakan keselamatan dan fasilitas toilet yang tidak layak semakin memperburuk kondisi kerja mereka. Kelelahan ekstrem dan konflik antarpribadi juga menjadi faktor tambahan yang memperparah situasi. Hanya 10 persen awak kapal yang tergabung dalam serikat pekerja, yang kemungkinan disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang pentingnya bergabung dalam serikat pekerja.
Lebih lanjut, survei ini juga mengungkap adanya pekerja anak. Sekitar 0,7 persen awak kapal yang diwawancarai, atau lebih dari 600 orang, merupakan pekerja anak. Hampir 47 persen dari seluruh pekerja mulai bekerja sebelum usia 18 tahun, mengindikasikan jumlah pekerja anak mungkin lebih tinggi dari yang teridentifikasi. Sekitar 1.000 awak kapal, atau sekitar 1,5 persen dari total pekerja, ditemukan berada dalam kondisi kerja paksa, termasuk penahanan paspor dan buku pelaut, pemotongan gaji, dan kekerasan fisik.
Kesimpulan
Survei ILO-BRIN ini memberikan gambaran yang sangat memprihatinkan tentang kondisi kerja awak kapal perikanan di Indonesia. Temuan ini menunjukkan perlunya tindakan segera dan komprehensif dari pemerintah, pelaku usaha, dan seluruh pemangku kepentingan untuk memperbaiki kondisi tersebut dan memastikan terpenuhinya hak-hak dasar para pekerja. Indonesia, sebagai negara pertama yang melakukan survei dengan metodologi yang ketat, telah menunjukkan komitmen serius dalam mentransformasi sektor perikanan menjadi sektor yang lebih layak dan berkelanjutan.