Tantangan Penerapan PLTS Atap Secara Masif di Bali
Guru Besar Universitas Udayana dan analis energi menilai penerapan PLTS atap secara masif di Bali masih menghadapi kendala biaya, pengembalian investasi yang lama, dan belum mampu memenuhi kebutuhan energi.

Denpasar, 30 April 2024 - Misi penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap secara besar-besaran di Bali masih menghadapi tantangan berat. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Udayana, Prof. I Gusti Bagus Wijaya, dalam Pelatihan Media Mewujudkan Bali Emisi Nol Bersih 2045. Prof. Wijaya mempertanyakan efektivitas penggunaan photovoltaic (PV) untuk PLTS atap di Bali, mengingat tingginya biaya dan waktu pengembalian investasi yang lama.
Dalam pelatihan tersebut, Prof. Wijaya menyoroti kendala utama dalam pemanfaatan energi surya di Bali. Beliau menyatakan, "Ya (masih berat) kecuali jangan pakai PV, seperti Uni Emirat Arab pakai solar thermal karena PV kita masih mahal." Pernyataan ini menggarisbawahi mahalnya teknologi PV yang menjadi penghambat utama dalam penerapan PLTS atap secara luas di Bali.
Selain mahal, Prof. Wijaya juga menekankan kesulitan dalam pengelolaan unit PLTS atap dan waktu pengembalian investasi yang mencapai belasan tahun. Beliau mencontohkan kasus hotel, salah satu sektor yang didorong untuk beralih ke energi terbarukan, yang masih belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan energinya hanya dengan PLTS atap. "Kapan transisi energi jadi, anggap hotel saya ubah atapnya jadi PLTS... saya tidak pakai PLN bisa tidak, tidak akan mungkin," ujar Prof. Wijaya, menjelaskan ketidakmampuan PLTS atap untuk sepenuhnya menggantikan pasokan listrik PLN.
Kendala Ekonomi dan Skala Penggunaan PLTS Atap
Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR, Alvin Putra, mengamini pernyataan Prof. Wijaya terkait mahalnya biaya PLTS atap, terutama untuk rumah tangga. Namun, ia menyarankan agar fokus awal diarahkan pada sektor swasta, khususnya industri pariwisata di Bali. "Kita dorong lebih jauh pariwisata bisnis-bisnis lainnya yang ada di Bali, tapi untuk rumah tangga memang saya rasa belum," kata Alvin.
Alvin juga menekankan pentingnya efisiensi energi sebagai langkah awal sebelum berinvestasi pada PLTS atap. Ia menyarankan masyarakat untuk mulai menghemat energi dengan berbagai cara, seperti menggunakan transportasi umum dan mengurangi konsumsi listrik. "Paling mudah adalah efisiensi yang tinggi, misalnya model kendaraan, kita bisa lebih banyak pakai transportasi umum, atau kebiasaan kita untuk pakai lampu, AC, bisa pelajari soal konsumsi energi," tambahnya.
Tantangan lain yang dihadapi adalah skala penggunaan. Meskipun hotel dan bisnis pariwisata berpotensi besar untuk menggunakan PLTS atap, jumlah panel surya yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan energi mereka sangat besar dan memerlukan investasi yang signifikan. Hal ini menjadi kendala utama dalam upaya transisi energi di Bali.
Solusi Jangka Pendek dan Panjang
Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan strategi jangka pendek dan panjang. Jangka pendek, fokus utama adalah pada efisiensi energi dan mendorong penggunaan PLTS atap di sektor swasta yang mampu menopang biaya investasi yang tinggi. Jangka panjang, perlu dilakukan riset dan pengembangan teknologi PLTS yang lebih murah dan efisien, serta kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan energi terbarukan di Bali.
Kesimpulannya, meskipun pemerintah Bali gencar mendorong transisi energi dengan memanfaatkan PLTS atap, masih banyak tantangan yang harus diatasi, terutama terkait biaya, skala penggunaan, dan waktu pengembalian investasi. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang komprehensif dan terintegrasi untuk mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2045.
Selain itu, perlu adanya edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya efisiensi energi sebagai langkah awal dalam mendukung transisi energi. Dengan efisiensi energi yang tinggi, kebutuhan energi dapat dikurangi, sehingga investasi pada PLTS atap dapat lebih terukur dan efektif.