Trivia Impor: 2,19 Juta Ton Tekstil dari Tiongkok, Legislator Desak Penyelamatan Industri Tekstil Nasional
Anggota DPR RI menyoroti ancaman gulung tikar bagi Industri Tekstil Nasional akibat impor besar dan masalah limbah. Apa langkah konkret yang harus segera diambil?

Anggota Komisi VII DPR RI, Novita Hardini, baru-baru ini menyerukan langkah cepat dan konkret. Ia menekankan pentingnya penyelamatan Industri Tekstil Nasional dari ancaman gulung tikar. Peringatan ini disampaikan saat kunjungan kerja spesifik Komisi VII DPR RI ke Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (STTT) Bandung, Jawa Barat.
Novita menyoroti derasnya arus impor tekstil serta minimnya perhatian terhadap isu lingkungan sebagai penyebab utama. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan Indonesia mengimpor 2,19 juta ton tekstil dari Tiongkok. Hal ini setara dengan 8,94 miliar dolar AS, menunjukkan ketergantungan yang mengkhawatirkan.
Kondisi ini, menurutnya, berpotensi besar menyebabkan ribuan tenaga kerja terdampak. Oleh karena itu, legislator tersebut mendesak pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk segera bertindak. Tujuannya adalah mencegah penjajahan ekonomi melalui sektor tekstil dan mendorong transformasi industri.
Tantangan Berat Industri Tekstil Nasional
Novita Hardini membeberkan sejumlah masalah serius yang membelit sektor tekstil nasional. Biaya produksi yang tinggi menjadi beban utama bagi para pelaku usaha. Selain itu, mahalnya harga bahan baku juga turut memperparah kondisi.
Masalah impor menjadi sorotan tajam. Berdasarkan data BPS 2024, Indonesia masih sangat bergantung pada tekstil impor. Khususnya dari Tiongkok yang mencapai 2,19 juta ton atau 8,94 miliar dolar AS.
Kondisi ini menimbulkan persaingan tidak sehat bagi produk lokal. Tanpa intervensi cepat, Industri Tekstil Nasional akan semakin tertekan. Ribuan pekerja di sektor ini juga terancam kehilangan mata pencarian.
Mendesak Transformasi Menuju Industri Hijau
Selain masalah ekonomi, Novita juga menyoroti minimnya pengelolaan limbah tekstil. Proporsi industri hijau di Indonesia saat ini baru mencapai sekitar 35 persen. Ini menunjukkan kesenjangan besar dalam praktik keberlanjutan.
Pengolahan limbah tekstil dari rumah tangga hingga industri besar masih sangat minim. Pemerintah daerah, provinsi, dan pusat harus menjadikan investasi di bidang ini sebagai prioritas. Penanganan limbah dari hulu ke hilir sangat krusial.
Ekosistem industri hijau bukan sekadar tren global, melainkan penentu masa depan ekonomi nasional. Dibutuhkan regulasi kuat dan insentif nyata bagi daerah yang membangun industri ramah lingkungan. Sertifikasi hijau harus diperluas untuk mendukung Industri Tekstil Nasional yang berkelanjutan.
Teknologi pengolahan limbah juga memerlukan dukungan maksimal dari negara. Komisi VII DPR RI berkomitmen mendorong legislatif, eksekutif, dan dunia industri. Tujuannya adalah transformasi tekstil Indonesia menjadi industri hijau yang kompetitif.