Zakat Fitrah: Simbol Kemenangan Sejati di Idul Fitri, Kata Ketua MUI
Ketua MUI, KH Muhammad Cholil Nafis, menekankan pentingnya zakat fitrah sebagai simbol kemenangan sejati Idul Fitri, bukan hanya sekadar pengendalian hawa nafsu, melainkan juga kepedulian sosial dan pemberdayaan ekonomi.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Muhammad Cholil Nafis, menyampaikan pesan penting tentang makna Idul Fitri. Beliau menjelaskan bahwa kemenangan meraih fitrah di Idul Fitri bukan hanya tentang keberhasilan mengendalikan hawa nafsu selama Ramadan, tetapi juga diwujudkan melalui kewajiban menunaikan zakat fitrah. Pernyataan ini disampaikannya dalam khotbah Shalat Idul Fitri 1446 Hijriah di Pesantren Cendekia Amanah, Depok, Jawa Barat, Senin.
Dalam khotbahnya, KH Cholil Nafis menekankan bahwa zakat fitrah merupakan cara efektif menyambut Idul Fitri. Zakat, menurut beliau, menjadi pengingat bahwa segala sesuatu yang kita miliki, baik diri maupun harta, pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Ini merupakan inti dari makna fitrah yang sebenarnya.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa menunaikan zakat fitrah merupakan penyempurnaan dari kemenangan melawan hawa nafsu. Zakat fitrah disimbolkan sebagai pembuangan 'kotoran belenggu' hawa nafsu tersebut, sehingga Idul Fitri dirayakan dengan hati yang bersih dan jiwa yang tenang. Hal ini disampaikan beliau dengan kalimat, "'Kemenangan meraih fitrah dengan mengalahkan belenggu hawa nafsu juga disempurnakan dengan kewajiban membuang kotoran belenggu yang disimbolkan melalui zakat fitrah. Ini cara efektif bagaimana kita menyambut Idul Fitri,' katanya."
Zakat Fitrah: Lebih dari Sekadar Kewajiban
KH Cholil Nafis menjelaskan bahwa zakat, baik zakat fitrah maupun zakat harta, mengingatkan kita akan hakikat kepemilikan. Harta yang kita miliki bukanlah sepenuhnya milik kita, melainkan terdapat hak fakir miskin dan mustahik di dalamnya. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita menggunakan harta tersebut sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Beliau menambahkan bahwa pemahaman akan harta sebagai amanah akan mencegah kita dari penghamburan atau penimbunan harta secara berlebihan. "'Jika kita mengerti harta adalah amanah dan berzakat dengan benar, maka (kita) tidak akan menghambur-hamburkan harta atau menyimpannya secara berlebihan, karena merasa bahwa harta itu adalah amanah dari Allah SWT yang harus ditunaikan,' ujarnya."
Zakat fitrah, yang idealnya dikeluarkan sebelum shalat Idul Fitri, juga dijelaskan sebagai simbol kepedulian sosial. Tujuannya adalah untuk memastikan tidak ada seorang pun yang kelaparan atau sedih karena kekurangan harta benda di hari raya Idul Fitri. Ini mencerminkan semangat kebersamaan dan solidaritas dalam masyarakat Islam.
Zakat Fitrah: Pemberdayaan Ekonomi Umat
KH Cholil Nafis juga menyoroti peran zakat sebagai sarana pemberdayaan ekonomi. Beliau mengutip pandangan Imam Malik dalam kitab Muwaththa’ yang menekankan bahwa zakat tidak hanya sebagai bantuan semata, tetapi juga sebagai upaya untuk membantu orang miskin mencapai kemandirian ekonomi.
Dengan demikian, zakat diharapkan dapat menjadi solusi ekonomi jangka panjang, bukan hanya solusi sementara. "'Zakat itu tidak hanya berfungsi sebagai bantuan, tapi harusnya juga pemberdayaan. Imam Malik dalam kitab Muwaththa’-nya menyatakan bahwa zakat harus diberikan dengan tujuan untuk membantu orang miskin mencapai kemandirian, sehingga mereka bisa menjadi bagian dari solusi ekonomi, bukan sekadar penerima bantuan,' paparnya."
Hal ini menunjukkan bahwa zakat fitrah memiliki dampak yang luas, tidak hanya pada aspek spiritual, tetapi juga pada aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Pemberian zakat yang tepat sasaran dan terencana dapat berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan ekonomi umat.
Dengan demikian, zakat fitrah bukan hanya sekadar kewajiban ritual, melainkan juga wujud nyata dari kepedulian sosial dan komitmen untuk mewujudkan keadilan ekonomi.
Kembali kepada Fitrah yang Sejati
Di akhir khotbahnya, KH Cholil Nafis mengajak umat Islam untuk menjadikan Idul Fitri sebagai momentum untuk kembali kepada fitrah yang sejati. Hal ini diwujudkan dengan meningkatkan ketakwaan, amal saleh, menjauhi maksiat, dan meningkatkan kepedulian sosial.
Beliau menegaskan bahwa fitrah yang sesungguhnya ditandai dengan peningkatan ketakwaan, peningkatan amal saleh, menjauhi maksiat, dan peran serta kemanusiaan yang lebih maksimal. "'Fitrah yang sesungguhnya adalah ketika taqwanya bertambah, berarti amal salehnya meningkat, semakin menjauhkan diri dari perilaku-perilaku maksiat dan peran serta kemanusiaan lebih maksimal. Jadi, kembali ke fitrah berarti kembali mendengarkan suara hati nurani yang paling dalam yang sudah kita jernihkan dengan berpuasa,' ucap Muhammad Cholil Nafis."
Dengan demikian, Idul Fitri bukan hanya sekadar perayaan berakhirnya bulan Ramadan, tetapi juga momentum untuk refleksi diri dan komitmen untuk menjadi pribadi yang lebih baik, serta berkontribusi positif bagi masyarakat.