Ekonom UI: Tak Ada Urgensi Segera Tambal Defisit Anggaran, Fokus pada Anggaran Tahunan
Ekonom LPEM FEB UI tegaskan tidak ada urgensi untuk segera menutup defisit anggaran bulanan, karena defisit tersebut bersifat siklikal dan sudah diantisipasi dalam APBN 2025.
Deflasi 0,09 persen year-on-year (yoy) mewarnai perekonomian Indonesia pada Februari 2025, sebuah fenomena yang pertama kali terjadi sejak Maret 2000. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh diskon tarif listrik 50 persen untuk pelanggan PLN dengan daya 2.200 VA ke bawah. Meskipun demikian, seorang ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI, Teuku Riefky, menyatakan bahwa defisit anggaran yang terjadi tidak perlu segera ditambal.
Menurut Riefky, dalam wawancara dengan ANTARA di Jakarta, Jumat, tidak ada urgensi khusus untuk menutup defisit anggaran pada bulan tertentu. Defisit ini, lanjutnya, merupakan hal yang wajar dan sudah diantisipasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui penerbitan surat utang negara. Ia menekankan bahwa siklus belanja dan penerimaan negara tidak selalu selaras, sehingga defisit pada bulan-bulan tertentu, terutama di awal tahun, adalah hal yang lumrah.
Meskipun deflasi terjadi, komponen inti inflasi masih tercatat sebesar 2,48 persen yoy, menunjukkan daya beli masyarakat masih relatif terjaga. Hal ini penting untuk dipertimbangkan dalam konteks defisit anggaran. Fokus utama, menurut Riefky, seharusnya tertuju pada defisit anggaran secara keseluruhan tahun, bukan defisit bulanan.
Siklus Belanja dan Penerimaan Negara
Riefky menjelaskan bahwa siklus belanja dan penerimaan negara memiliki dinamika yang berbeda. Biasanya, di awal tahun, terutama menjelang bulan Ramadhan, belanja negara meningkat signifikan, sementara penerimaan negara belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Sebaliknya, penerimaan negara cenderung meningkat di akhir tahun. Kondisi ini secara alami akan menciptakan defisit anggaran pada beberapa bulan tertentu.
Ia menambahkan bahwa defisit anggaran yang terjadi bersifat siklikal dan sudah diperhitungkan dalam perencanaan APBN. Oleh karena itu, tidak diperlukan tindakan khusus untuk segera menutup defisit bulanan. Penerbitan surat utang negara, yang sudah direncanakan sebelumnya, akan menjadi mekanisme pembiayaan defisit tersebut.
Lebih lanjut, Riefky menyoroti pentingnya melihat gambaran besar defisit anggaran dalam konteks tahunan. Fokus utama seharusnya terletak pada pengelolaan defisit anggaran tahunan agar tetap terkendali dan sesuai dengan target yang telah ditetapkan dalam APBN. Penanganan defisit bulanan yang tergesa-gesa justru dapat mengganggu perencanaan dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Analisis Deflasi Februari 2025
Deflasi yang terjadi pada Februari 2025 sebagian besar dipengaruhi oleh penurunan harga yang diatur pemerintah, terutama diskon tarif listrik. Komponen harga diatur pemerintah mengalami deflasi sebesar 9,02 persen yoy, berkontribusi sebesar 1,77 persen terhadap deflasi tahunan. Sementara itu, komponen inti dan komponen bergejolak masih mengalami inflasi tahunan.
Meskipun terjadi deflasi secara keseluruhan, penting untuk dicatat bahwa komponen inti inflasi masih menunjukkan angka 2,48 persen yoy, dengan kontribusi 1,58 persen terhadap inflasi tahunan. Ini menunjukkan bahwa meskipun harga-harga secara umum mengalami penurunan, tekanan inflasi masih ada pada beberapa sektor. Kondisi ini perlu dipantau secara cermat untuk memastikan stabilitas ekonomi jangka panjang.
Data BPS menunjukkan bahwa deflasi ini merupakan yang pertama kali terjadi sejak Maret 2000. Faktor-faktor yang menyebabkan deflasi ini perlu dianalisa lebih lanjut untuk memahami dampaknya terhadap perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Perlu juga dipertimbangkan langkah-langkah strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah fluktuasi harga.
Kesimpulannya, menurut Teuku Riefky, tidak ada urgensi untuk segera menambal defisit anggaran bulanan. Defisit ini merupakan siklus alami dan sudah diantisipasi dalam APBN. Fokus utama harus tetap pada pengelolaan defisit anggaran tahunan dan menjaga stabilitas ekonomi secara keseluruhan.