Makelar Proyek Muncul dalam Sidang Korupsi Shelter Tsunami NTB
Sidang korupsi pembangunan Shelter Tsunami NTB mengungkap peran makelar proyek yang menggunakan PT Qorina Konsultan Indonesia untuk memenangkan lelang senilai Rp1,55 miliar.
Sidang lanjutan kasus korupsi pembangunan Shelter Tsunami di Bangsal, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram pada Rabu, 19 Februari 2012, mengungkap fakta mengejutkan terkait peran makelar proyek. Persidangan menghadirkan lima saksi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memberikan kesaksian terkait proses lelang paket perencanaan pembangunan gedung tempat evakuasi sementara (TES) atau Shelter Tsunami tersebut. Fakta ini menunjukkan adanya manipulasi dalam proses tender proyek yang seharusnya berjalan transparan dan akuntabel.
Salah satu fakta kunci terungkap dari kesaksian Adung Karnaen, Direktur PT Qorina Konsultan Indonesia, perusahaan yang memenangkan lelang paket perencanaan dengan nilai penawaran Rp1,55 miliar di bawah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Adung menyatakan bahwa dirinya tidak terlibat aktif dalam proses lelang dan pengerjaan proyek. Ia mengungkapkan bahwa Didik Kasidi, seorang staf administrasi di CV Adi Cipta, meminjam nama dan perusahaan PT Qorina Konsultan Indonesia untuk mengikuti lelang tersebut. Adung mengaku hanya memberikan izin secara lisan dan menyerahkan dokumen persyaratan lelang kepada Didik, tanpa adanya kuasa hukum yang sah.
Lebih lanjut, Adung menjelaskan bahwa dirinya hanya menerima fee sebesar 5 persen dari total nilai proyek, yaitu Rp65 juta, sebagai imbalan atas peminjaman nama perusahaannya. Proses pencairan dana proyek dilakukan dalam tiga termin dan masuk ke rekening PT Qorina Konsultan Indonesia. Didik, yang mengetahui proses pencairan, secara rutin menginformasikan hal tersebut kepada Adung. Pengakuan Adung ini semakin memperkuat dugaan adanya praktik makelar proyek yang merugikan negara.
Peran Didik Kasidi dan Konsorsium Perusahaan
Didik Kasidi, yang berperan sebagai makelar proyek, tidak hanya menggunakan nama PT Qorina Konsultan Indonesia, tetapi juga menggandeng tiga perusahaan konsultan lain, yaitu PT Bumi Harmoni Indoguna, PT Artistika, dan PT KSA, untuk mengerjakan proyek tersebut. Hal ini terungkap dari kesaksian Rachmat Agung, asisten manajer administrasi PT Bumi Harmoni Indoguna. Rachmat menjelaskan bahwa perusahaannya hanya berperan dalam menyiapkan dokumen lelang dan mengawal prosesnya, sementara penyusunan Detail Engineering Design (DED) dilakukan oleh PT Artistika dan PT KSA.
Rachmat mengaku tidak mengetahui secara pasti legalitas kerja sama antara ketiga perusahaan tersebut dengan PT Qorina Konsultan Indonesia. Ia hanya mengetahui informasi tersebut dari pimpinan perusahaannya. Ketidakjelasan legalitas ini semakin memperkuat dugaan adanya praktik yang tidak transparan dan berpotensi merugikan negara. Proses penggandengan perusahaan-perusahaan ini juga menunjukkan adanya upaya untuk memanipulasi proses lelang dan mengeruk keuntungan secara bersama-sama.
Kesaksian Medi Herlianto, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) perencana, juga memberikan informasi penting. Medi mengaku tidak mengingat siapa dari pihak PT Qorina Konsultan Indonesia yang hadir saat penandatanganan kontrak. Namun, ia memastikan bahwa proses penandatanganan kontrak telah sesuai prosedur karena dilakukan langsung olehnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang pengawasan dan verifikasi yang dilakukan oleh PPK dalam proses lelang tersebut.
Kesaksian Pokja Lelang dan Implikasi Hukum
Dua saksi dari Pokja Pelaksana Lelang, Tomi dan Afrial Rosyad, memberikan kesaksian yang mendukung proses lelang yang dilakukan. Afrial Rosyad, Sekretaris Pokja, menyatakan bahwa klasifikasi PT Qorina Konsultan Indonesia sebagai pemenang lelang telah sesuai prosedur, melalui kajian teknis dari ahli. Namun, kesaksian ini tidak serta merta membantah adanya praktik makelar proyek, mengingat adanya pengakuan dari pihak-pihak lain yang terlibat.
Pengungkapan peran makelar proyek dalam kasus ini memiliki implikasi hukum yang serius. Praktik ini menunjukkan adanya pelanggaran hukum dan etika dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Proses lelang yang seharusnya kompetitif dan transparan, justru dimanipulasi untuk kepentingan segelintir pihak. Hal ini merugikan negara dan dapat menghambat pembangunan infrastruktur yang berkualitas.
Kesimpulannya, persidangan ini telah mengungkap praktik makelar proyek yang sistematis dan terorganisir dalam proses lelang pembangunan Shelter Tsunami di NTB. Proses hukum selanjutnya perlu mengungkap seluruh jaringan dan aktor yang terlibat dalam kasus ini untuk memastikan keadilan dan mencegah terulangnya praktik serupa di masa mendatang. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah harus terus ditingkatkan untuk mencegah korupsi dan memastikan pembangunan yang berkelanjutan.