Pakar UGM Dorong Pengesahan RUU Masyarakat Adat: Wujudkan Perlindungan Hukum Komunitas Adat
Pakar hukum UGM, Yance Arizona, mendesak pengesahan RUU Masyarakat Adat untuk melindungi komunitas adat dan mengatasi konflik agraria yang berkepanjangan.
Yogyakarta, 13 Mei 2024 - Pakar hukum Universitas Gadah Mada (UGM), Yance Arizona, dengan tegas mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. Beliau menilai, pengesahan RUU ini sangat mendesak untuk melindungi komunitas adat di Indonesia dari berbagai permasalahan hukum yang selama ini mereka hadapi. Pernyataan ini disampaikan di Yogyakarta pada Selasa lalu, menekankan pentingnya perlindungan hukum bagi kelompok masyarakat yang telah lama terpinggirkan.
Yance Arizona mengungkapkan keprihatinannya atas lambatnya proses pengesahan RUU yang telah diusulkan sejak tahun 2010 dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas sejak 2011. Beliau menyatakan, "Kita perlu apresiasi bahwa DPR masih memperhatikan RUU ini, meskipun progresnya lambat. Inisiatif ini sudah muncul sejak 2010 dan masuk Prolegnas Prioritas sejak 2011. Sudah sekitar 14 atau 15 tahun belum juga disahkan." Lambatnya proses ini, menurut beliau, menimbulkan berbagai persoalan hukum yang berkelanjutan bagi masyarakat adat.
Keberadaan RUU Masyarakat Adat dinilai krusial untuk memperkuat posisi hukum masyarakat adat dalam kerangka hukum nasional. Tanpa payung hukum yang jelas, berbagai konflik, terutama konflik agraria dan tumpang tindih regulasi, akan terus terjadi. Yance Arizona menekankan bahwa pengesahan RUU ini bukan hanya sekadar formalitas, melainkan sebuah kebutuhan mendesak untuk melindungi hak-hak dasar masyarakat adat yang telah lama terabaikan.
Perbaikan Substansi RUU Masyarakat Adat
Meskipun mendukung pengesahan RUU, Yance Arizona menyoroti sejumlah kelemahan dalam substansi draf RUU yang ada saat ini. Beliau menilai, draf tersebut belum mampu mengakomodasi kompleksitas permasalahan yang dihadapi masyarakat adat, khususnya terkait tumpang tindih regulasi sektoral seperti kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan pendidikan. Oleh karena itu, beliau menyarankan pendekatan kodifikasi melalui metode omnibus agar peraturan-peraturan sektoral yang berkaitan dengan masyarakat adat dapat dihimpun dan diselaraskan.
Menurut Yance Arizona, tanpa adanya reformulasi substansi, RUU ini hanya akan menjadi produk hukum yang lemah dalam implementasinya. Hal ini akan berdampak pada masyarakat adat yang tetap rentan terhadap berbagai pelanggaran hak dan konflik agraria. Oleh karena itu, revisi substansi RUU menjadi hal yang sangat penting untuk memastikan efektivitas dan kebermanfaatannya bagi masyarakat adat.
Peneguhan sejumlah prinsip juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan dalam RUU ini. Prinsip-prinsip tersebut antara lain kemudahan registrasi komunitas adat, legalitas atas tanah adat, dan penerapan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Prinsip-prinsip ini sejalan dengan United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) yang telah diratifikasi Indonesia.
Yance Arizona menambahkan bahwa RUU ini menjadi peluang strategis untuk menerjemahkan komitmen internasional tersebut ke dalam kebijakan hukum dalam negeri. Selama ini, banyak ketentuan dalam UNDRIP yang belum terimplementasi secara konkret dalam regulasi nasional. RUU Masyarakat Adat diharapkan dapat menjadi jembatan untuk mewujudkan komitmen tersebut.
Partisipasi Masyarakat Adat dalam Proses Legislasi
Yance Arizona juga menekankan pentingnya partisipasi masyarakat adat dalam proses legislasi RUU ini. Beliau mendorong agar DPR dan pemerintah tidak lagi menggunakan draf lama yang dinilai sudah tidak relevan, melainkan menyusun draf baru yang lebih sesuai dengan perkembangan global dan kebutuhan lokal masyarakat adat saat ini. Proses legislasi yang partisipatif dan inklusif akan memastikan bahwa suara dan aspirasi masyarakat adat benar-benar terakomodasi.
Pemerintah, menurut Yance Arizona, perlu menggunakan pendekatan multibahasa dan melibatkan fasilitator lokal agar suara masyarakat adat benar-benar terwakili. Hal ini penting untuk memastikan bahwa RUU yang dihasilkan benar-benar mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat adat di berbagai daerah di Indonesia. Dengan demikian, RUU ini akan menjadi instrumen yang efektif dalam melindungi hak-hak dan kepentingan masyarakat adat.
Beliau juga membantah anggapan bahwa masyarakat adat menghambat investasi. Konflik sering kali muncul karena proyek-proyek pembangunan masuk tanpa mengakui hak atas tanah adat. "Masyarakat adat tidak anti-investasi, tidak anti-pembangunan, sepanjang tidak merugikan mereka," tegas Yance Arizona. Oleh karena itu, diperlukan dialog dan kolaborasi yang konstruktif antara pemerintah, investor, dan masyarakat adat untuk mencapai keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Dengan pengesahan RUU Masyarakat Adat yang substansial dan partisipatif, diharapkan dapat tercipta keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat adat di Indonesia. RUU ini bukan hanya sekadar peraturan perundang-undangan, tetapi juga merupakan wujud nyata dari komitmen negara untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan menghormati keberagaman budaya Indonesia.