PSU Pilkada 2024: Konsekuensi Hebat, Biaya Capai Rp1 Triliun?
Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada 2024 di 24 daerah menimbulkan konsekuensi besar, termasuk penundaan kepemimpinan daerah dan biaya hingga Rp1 triliun.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada 2024 di 24 daerah. Hal ini menimbulkan konsekuensi yang signifikan, seperti yang diungkapkan oleh Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia. PSU ini terjadi akibat ketidakcermatan atau kesalahan administratif dari penyelenggara pemilu dalam memverifikasi syarat pencalonan, berdampak luas pada pemerintahan daerah dan keuangan negara.
Doli Kurnia menekankan dampak besar dari PSU ini, menyebutnya sebagai 'konsekuensi yang hebat sekali'. Ia menjelaskan bahwa pelaksanaan PSU di 24 daerah tersebut merupakan yang terbanyak sepanjang sejarah pilkada di Indonesia. Akibatnya, sekitar 39 daerah mengalami penundaan kepemimpinan definitif, berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan daerah.
Lebih lanjut, Doli mengungkapkan kekhawatiran akan potensi berlarut-larutnya permasalahan ini. Kemungkinan adanya gugatan sengketa kembali di MK setelah PSU menambah kompleksitas masalah. "Kalau ini nanti PSU, belum menutup kemungkinan tidak ada sengketa lagi karena dalam undang-undang kita enggak dibatasi, setiap ada pemilihan bisa diajukan sengketa. Jadi ini berpotensi berlarut-larut kalau kita enggak cepat antisipasi teman-teman penyelenggara," ujarnya.
Biaya PSU Pilkada: Beban APBN dan APBD
Selain dampak terhadap pemerintahan daerah, pelaksanaan PSU juga menimbulkan beban keuangan yang cukup besar. Banyak daerah yang tidak mampu membiayai PSU dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mereka. Akibatnya, pemerintah pusat harus turut campur tangan dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Hal ini menimbulkan dilema, mengingat pemerintah tengah menerapkan kebijakan efisiensi anggaran sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Doli Kurnia menegaskan bahwa jika daerah tidak mampu, pemerintah pusat terpaksa harus membantu. "Oleh karena itu, mau tidak mau, suka tidak suka suka, kalau daerahnya enggak sanggup ya memang harus diambil alih pemerintah pusat, APBN harus ikut turun tangan membantu pelaksanaan PSU itu," tegasnya.
Komisi II DPR RI berencana memanggil Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Keuangan (Menkeu) pada 10 Maret 2024 untuk membahas anggaran PSU. Hal ini dilakukan untuk memastikan ketersediaan anggaran dan koordinasi antar kementerian dalam menghadapi permasalahan ini.
Perkiraan Biaya dan Daerah yang Terdampak
Wakil Menteri Dalam Negeri, Ribka Haluk, sebelumnya telah mengungkapkan bahwa 18 daerah belum mampu membiayai PSU dari APBD mereka. Delapan daerah lainnya dinyatakan mampu membiayai PSU dari APBD, antara lain Kabupaten Bungo, Bangka Barat, Barito Utara, Magetan, Mahakam Ulu, Kutai Kartanegara, Siak, dan Banggai. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, memperkirakan biaya total PSU dapat mencapai hampir Rp1 triliun.
Angka tersebut merupakan perkiraan kasar, namun menunjukkan besarnya beban keuangan yang harus ditanggung negara akibat pelaksanaan PSU di 24 daerah. Kondisi ini menjadi sorotan tajam, mengingat pentingnya efisiensi anggaran di tengah kebijakan pemerintah saat ini. Permasalahan ini menuntut koordinasi dan antisipasi yang cermat dari pemerintah pusat dan daerah agar tidak berdampak lebih luas lagi.
Ketidakpastian hukum dan potensi sengketa berkelanjutan juga menjadi perhatian serius. Proses hukum yang berlarut-larut akan semakin memperpanjang masa penantian kepemimpinan definitif di daerah-daerah yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis untuk memastikan proses PSU berjalan lancar, efisien, dan tidak berdampak negatif yang lebih besar terhadap pemerintahan daerah dan keuangan negara.