Adik Hendry Lie Terancam 5 Tahun Penjara: Menguak Fakta Tuntutan Korupsi Timah Rp300 Triliun
Fandy Lingga, adik Hendry Lie, dituntut 5 tahun penjara dalam kasus Tuntutan Korupsi Timah yang merugikan negara Rp300 triliun. Simak detail keterlibatannya!

Jakarta, 04 Agustus – Fandy Lingga, yang menjabat sebagai Marketing PT Tinindo Inter Nusa (TIN) periode 2008-2018 dan merupakan adik dari terdakwa Hendry Lie, menghadapi tuntutan pidana selama 5 tahun penjara. Tuntutan ini diajukan terkait kasus dugaan korupsi timah yang tengah bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung (Kejagung), Feraldy Abraham Harahap, menyatakan keyakinannya bahwa Fandy Lingga terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Ia terlibat dalam tindak pidana korupsi secara bersama-sama, sebagaimana dibacakan dalam sidang tuntutan pada Senin (04/8).
Selain pidana badan, Fandy juga dituntut pidana denda sebesar Rp500 juta, dengan ketentuan subsider 3 bulan kurungan apabila denda tidak dibayar. Kasus ini didakwa telah merugikan keuangan negara senilai total Rp300 triliun, terkait pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada periode 2015—2022.
Peran Fandy Lingga dalam Skandal Timah
Keterlibatan Fandy Lingga dalam kasus korupsi timah ini terungkap melalui kehadirannya dalam beberapa pertemuan penting. Ia kerap mewakili PT TIN untuk membahas kerja sama smelter swasta dengan PT Timah, termasuk di Griya PT Timah dan Hotel Novotel Pangkalpinang.
Pertemuan tersebut melibatkan Fandy dengan Direktur Utama PT Timah periode 2016-2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Direktur Operasi PT Timah periode 2017-2020 Alwin Albar. Selain itu, sekitar 30 pemilik smelter swasta juga turut hadir untuk membahas permintaan Mochtar dan Alwin atas bijih timah sebesar 5 persen dari kuota ekspor para smelter swasta.
Bijih timah yang diekspor oleh para smelter swasta tersebut diketahui bersumber dari penambangan di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah. Fandy juga diduga memberikan instruksi kepada Rosalina untuk membuat surat penawaran PT TIN mengenai kerja sama sewa alat pengolahan timah kepada PT Timah.
Surat penawaran tersebut disetujui oleh Pemilik Manfaat PT TIN, Hendry Lie, dan melibatkan empat smelter swasta lainnya: PT Refined Bangka Tin (RBT), CV Venus Inti Perkasa (VIP), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), dan PT Stanindo Inti Perkasa (SIP).
Kerugian Negara dan Modus Operandi Korupsi
Kerugian negara yang mencapai Rp300 triliun dalam kasus korupsi timah ini memiliki rincian yang signifikan. Kerugian tersebut meliputi Rp2,28 triliun dari aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat pengolahan logam dengan smelter swasta, serta Rp26,65 triliun berupa kerugian atas pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah.
Selain itu, terdapat kerugian lingkungan yang sangat besar, mencapai Rp271,07 triliun. Angka ini menunjukkan dampak serius dari praktik korupsi terhadap ekosistem dan sumber daya alam Indonesia, khususnya di wilayah pertambangan timah.
Modus operandi yang terungkap melibatkan pengelolaan tata niaga komoditas timah yang tidak sesuai prosedur. Praktik ini mencakup kerja sama sewa-menyewa alat dan pembayaran biji timah yang berasal dari wilayah IUP PT Timah, yang seharusnya dikelola secara transparan dan akuntabel.
Atas perbuatannya, Fandy Lingga dituntut bersalah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.