Ekstradisi Paulus Tannos dari Singapura: Proses Hukum Butuh Waktu Minimal Empat Bulan
Kepolisian Indonesia mengumumkan ekstradisi Paulus Tannos dari Singapura terkait kasus korupsi e-KTP akan memakan waktu setidaknya empat bulan karena proses hukum yang panjang dan rumit.

Proses ekstradisi Paulus Tannos, buron kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), dari Singapura diperkirakan akan memakan waktu minimal empat bulan. Hal ini disampaikan oleh Kepala Bagian Hubungan Internasional Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polri, Komisaris Besar Polisi Ricky Purnama, pada Jumat (22/3). Proses tersebut melibatkan koordinasi intensif antara kepolisian Indonesia dan otoritas Singapura, serta berbagai kementerian dan lembaga terkait.
Menurut Purnama, otoritas Singapura memiliki periode penahanan 45 hari untuk menanggapi permintaan ekstradisi Tannos dari pemerintah Indonesia. Proses hukum di Singapura akan berjalan sesuai sistem hukum mereka, termasuk peninjauan dan penilaian terhadap permintaan ekstradisi. "Singapura akan memproses kasus ini berdasarkan sistem hukum mereka. Mereka akan meninjau dan menilai permintaan ekstradisi kita, dan keputusan proses hukum ini akan memakan waktu," jelas Purnama.
Permintaan ekstradisi ini juga melibatkan upaya diplomatik yang dipimpin oleh Otoritas Pusat dan Hukum Internasional Kementerian Hukum dan HAM (OPHI Kemenkumham) serta Kejaksaan Agung. Brigadir Jenderal Untung Widyatmoko, Sekretaris NCB Interpol Indonesia, menjelaskan bahwa peran Polri dalam proses ini meliputi penangkapan dan surat perintah penangkapan yang telah dilakukan secara profesional. Saat ini, penahanan Tannos berada di tangan Jaksa Agung Singapura.
Proses Ekstradisi yang Kompleks
Proses ekstradisi Tannos terbilang kompleks dan melibatkan berbagai pihak. Setelah buron sejak 19 Oktober 2021, Tannos berhasil ditangkap oleh Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura. Sebelum penangkapan, Divhubinter Polri telah mengajukan permintaan penangkapan sementara kepada otoritas Singapura untuk membantu penangkapan buron kasus korupsi KTP elektronik ini. Permintaan ekstradisi resmi diajukan setelah Jaksa Agung Singapura mengkonfirmasi penangkapan Tannos pada 17 Januari 2025.
Koordinasi intensif dilakukan antara Kementerian Hukum dan HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Luar Negeri Indonesia untuk mempercepat proses ekstradisi. Proses ini membutuhkan waktu karena berbagai tahapan hukum dan diplomatik yang harus dilalui, sesuai dengan hukum dan prosedur yang berlaku di Singapura.
Meskipun terdapat periode penahanan 45 hari di Singapura, proses hukum selanjutnya, termasuk peninjauan dan penilaian atas permintaan ekstradisi Indonesia, dapat memakan waktu lebih lama. Hal ini menekankan kompleksitas dan panjangnya proses hukum internasional dalam kasus ekstradisi seperti ini.
Peran Lembaga Terkait dalam Ekstradisi Tannos
- Kepolisian RI (Polri): Melakukan penangkapan dan pengajuan permintaan penangkapan sementara kepada Singapura.
- Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham): Memimpin upaya diplomatik melalui OPHI.
- Kejaksaan Agung: Berperan dalam proses hukum dan koordinasi internasional.
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): Berkoordinasi dalam penanganan kasus korupsi e-KTP.
- Kementerian Luar Negeri: Memfasilitasi komunikasi dan koordinasi diplomatik dengan Singapura.
Proses ekstradisi Paulus Tannos menjadi sorotan publik karena kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara miliaran rupiah. Kerja sama antar lembaga dan negara menjadi kunci keberhasilan ekstradisi ini, meskipun prosesnya membutuhkan waktu dan kesabaran.
Meskipun prosesnya memakan waktu, komitmen pemerintah Indonesia untuk membawa Tannos kembali ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya tetap teguh. Koordinasi yang erat antara berbagai instansi pemerintah dan kerja sama yang baik dengan otoritas Singapura diharapkan dapat memastikan ekstradisi Tannos berjalan lancar dan sesuai dengan hukum yang berlaku.