Gabah "Any Quality": Ancaman bagi Ketahanan Pangan Nasional?
Kebijakan satu harga gabah dan maraknya gabah "any quality" mengancam kualitas beras nasional dan ketahanan pangan Indonesia; dibutuhkan solusi menyeluruh dari hulu hingga hilir.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Permasalahan gabah "any quality", yaitu gabah dengan kualitas bervariasi yang dijual tanpa memperhatikan standar, tengah menjadi sorotan. Hal ini terjadi di Indonesia, khususnya setelah diterbitkannya Keputusan Badan Pangan Nasional Nomor 14/2025 yang membebaskan petani menjual hasil panen dan kebijakan satu harga Rp6.500 per kilogram oleh Perum Bulog. Kebijakan ini menyebabkan Bulog menyerap gabah dalam jumlah besar tanpa memperhatikan kualitas, berpotensi menimbulkan masalah di masa depan. Dampaknya, kualitas beras menurun, proses pengolahan terganggu, dan citra Bulog sebagai penyedia beras berkualitas terancam.
Perum Bulog menghadapi dilema: harus menyerap gabah untuk menjaga cadangan beras pemerintah, tetapi berisiko menerima gabah berkualitas rendah. Situasi ini diperparah oleh kurangnya pengawasan kualitas gabah dari hulu (petani) hingga hilir (konsumen). Kondisi ini menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan nasional, terutama di tengah potensi krisis pangan global dan perubahan iklim.
Artikel ini akan membahas dampak negatif gabah "any quality", upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini, serta solusi jangka panjang yang dibutuhkan untuk membangun sistem produksi dan distribusi pangan yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan. Permasalahan ini memerlukan kerjasama dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, petani, Bulog, hingga konsumen.
Dampak Gabah "Any Quality" terhadap Kualitas Beras dan Ketahanan Pangan
Terdapat enam dampak utama dari pembelian gabah "any quality" oleh Perum Bulog. Pertama, kualitas gabah yang tidak terjamin otomatis menurunkan kualitas beras. Kedua, proses pengolahan beras menjadi rentan terganggu, bahkan mesin penggilingan bisa rusak. Ketiga, nilai ekonomi gabah turun drastis, mengakibatkan kerugian finansial. Keempat, kualitas beras yang dihasilkan dapat merugikan konsumen dari segi rasa, tampilan, hingga keamanan pangan. Kelima, citra Bulog sebagai penyedia beras berkualitas terancam. Keenam, distribusi beras terganggu karena proses sortir dan pengolahan yang lebih lama.
Selain itu, ketidakterjaminan kualitas gabah juga berdampak pada strategi logistik nasional. Beras yang tidak memenuhi standar akan memperlambat rotasi stok dan menyulitkan prediksi ketahanan pangan di berbagai wilayah. Hal ini menjadi tantangan besar, mengingat pentingnya menjaga cadangan pangan yang cukup dan berkualitas untuk menghadapi berbagai kemungkinan, termasuk bencana alam dan krisis global.
Lebih lanjut, permasalahan ini juga berdampak pada petani. Petani yang menjual gabah berkualitas rendah tidak mendapatkan insentif yang lebih tinggi, sementara petani yang berusaha menghasilkan gabah berkualitas baik tidak dihargai secara ekonomi. Hal ini menciptakan ketidakadilan dalam sistem pertanian dan berpotensi mengurangi motivasi petani untuk meningkatkan kualitas produksi.
Solusi Jangka Pendek dan Panjang: Edukasi Petani dan Penguatan Sistem
Langkah Bulog untuk lebih selektif dalam menyerap gabah patut diapresiasi. Namun, selektivitas ini harus dibarengi dengan pembangunan ekosistem produksi yang lebih berkualitas dari hulu. Edukasi untuk petani menjadi kunci utama. Petani perlu memahami pentingnya menunggu waktu panen yang tepat agar gabah matang sempurna dan tidak berwarna hijau.
Peran penyuluh pertanian sangat penting dalam memberikan edukasi ini. Namun, keterbatasan jumlah tenaga penyuluh, kurangnya pelatihan, dan minimnya dukungan teknologi menjadi kendala. Penguatan fungsi penyuluhan pertanian menjadi investasi strategis untuk ketahanan pangan masa depan.
Dalam jangka panjang, dibutuhkan pembenahan menyeluruh, mulai dari regulasi hingga infrastruktur pendukung. Pengering gabah, tempat penyimpanan modern, dan sistem digitalisasi mutu perlu ditingkatkan. Penelitian mengenai varietas unggul yang lebih tahan terhadap kondisi panen yang kurang ideal juga perlu diperbanyak dan disosialisasikan.
Pemerintah juga perlu mengevaluasi kebijakan satu harga. Skema harga diferensial berbasis kualitas dapat menjadi solusi, misalnya melalui penguatan kelembagaan petani dan penataan rantai pasok yang lebih adil dan transparan. Dengan begitu, kualitas gabah benar-benar dihargai secara ekonomi.
Kesimpulan
Permasalahan gabah "any quality" merupakan tantangan kompleks yang memerlukan solusi terintegrasi. Kerjasama antara pemerintah, Bulog, petani, dan seluruh pemangku kepentingan sangat penting untuk membangun sistem produksi dan distribusi pangan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Peningkatan kualitas gabah tidak hanya akan meningkatkan kualitas beras, tetapi juga akan menjamin ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani.