Hippindo Desak Pemerintah Cabut Kebijakan Efisiensi Anggaran, Ekonomi RI Tersendat?
Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) meminta pemerintah mencabut kebijakan efisiensi anggaran karena dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi, khususnya sektor ritel.

Jakarta, 6 Mei 2025 - Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) mendesak pemerintah untuk mencabut kebijakan efisiensi anggaran. Hippindo menilai kebijakan ini telah memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, khususnya pada sektor ritel. Permintaan ini disampaikan di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 yang mencapai 4,87 persen, lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Ketua Umum Hippindo, Budihardjo Iduansjah, menyatakan bahwa pencabutan kebijakan efisiensi anggaran akan mendorong peningkatan daya beli masyarakat. Ia menekankan bahwa sektor ritel merupakan industri padat karya yang sangat bergantung pada aktivitas ekonomi masyarakat. "Kami industri padat karya karena tokonya offline, enggak online. Ini ritel itu senang kalau ada acara-acara, Pak," ujar Budihardjo dalam konferensi pers di Kantor Kementerian UMKM Jakarta, Selasa.
Budihardjo menambahkan, "Jadi mungkin nanti bisa efisiensi dilepas untuk meramaikan ekonomi kembali, Pak. Karena dari ritel ingin ramai, banyak orang jalan-jalan, naik pesawat, asal di Indonesia saja." Pernyataan ini mencerminkan harapan Hippindo agar kebijakan pemerintah dapat mendukung geliat sektor ritel dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Tanggapan Pemerintah dan Dampak Efisiensi Anggaran
Menanggapi desakan Hippindo, Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Maman Abdurrahman, menyampaikan bahwa kebijakan efisiensi anggaran tidak akan menghambat transaksi atau dukungan terhadap UMKM. Ia bahkan berpendapat bahwa efisiensi justru mendorong kreativitas dan inovasi dalam pengelolaan anggaran. "Dalam konteks kami di Kementerian UMKM, kami menganggap bahwa itu sesuatu yang positif, bahwa dengan adanya efisiensi ini mendorong kami untuk lebih meningkatkan program kolaborasi dengan pemerintahan lintas kementerian," jelas Maman.
Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2025 menjadi 4,87 persen (year-on-year), turun dibandingkan 5,11 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Salah satu faktor penyebabnya adalah kontraksi konsumsi pemerintah sebesar 1,38 persen, yang diakibatkan oleh kebijakan efisiensi belanja pemerintah, termasuk pengurangan anggaran perjalanan dinas dan belanja operasional perkantoran.
Kebijakan efisiensi ini sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025. Instruksi Presiden tersebut menargetkan penghematan belanja APBN sebesar Rp306,69 triliun, terdiri atas efisiensi anggaran belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah Rp50,59 triliun.
Analisis dan Pertimbangan
Pernyataan yang saling bertolak belakang antara Hippindo dan pemerintah menimbulkan pertanyaan mengenai dampak sebenarnya dari kebijakan efisiensi anggaran terhadap perekonomian Indonesia. Hippindo yang mewakili sektor ritel melihat dampak negatif yang signifikan, sementara pemerintah menekankan manfaat efisiensi dalam mendorong kreativitas dan inovasi.
Perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk memahami korelasi antara kebijakan efisiensi anggaran dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Studi mendalam diperlukan untuk mengukur dampak kebijakan ini terhadap berbagai sektor ekonomi, termasuk sektor ritel, UMKM, dan konsumsi pemerintah. Data yang lebih komprehensif akan membantu dalam pengambilan keputusan kebijakan yang lebih tepat dan terukur di masa mendatang.
Pertumbuhan ekonomi yang melambat tentu menjadi perhatian serius. Pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai aspek sebelum mengambil keputusan kebijakan, termasuk dampaknya terhadap sektor ritel dan UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Menemukan keseimbangan antara efisiensi anggaran dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan menjadi tantangan utama.
Ke depannya, diperlukan dialog yang lebih intensif antara pemerintah dan pelaku usaha untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan. Transparansi data dan analisis yang objektif akan membantu dalam merumuskan kebijakan yang tepat sasaran dan efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.