Inflasi Proyeksi Akhir 2025 Capai 2,33 Persen: Analisis Ekonom Bank Permata
Kepala Ekonom Bank Permata memproyeksikan inflasi Indonesia akan mencapai 2,33 persen pada akhir 2025, didorong oleh beberapa faktor ekonomi dan global.

Jakarta, 2 Mei 2025 - Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, memproyeksikan tingkat inflasi Indonesia akan mencapai 2,33 persen pada akhir tahun 2025. Angka ini lebih tinggi dari proyeksi inflasi pada akhir 2024 yang sebesar 1,57 persen. Meskipun demikian, proyeksi ini masih berada dalam kisaran target Bank Indonesia (BI), yaitu 1,5-3,5 persen.
Proyeksi ini disampaikan Josua kepada ANTARA di Jakarta pada Jumat lalu. Ia menyatakan, "Kami mempertahankan perkiraan bahwa inflasi indeks harga konsumen (IHK) headline akan tetap sekitar 2 persen pada akhir 2025." Pernyataan ini disampaikan menyusul pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai kenaikan laju inflasi tahunan dari 1,03 persen (yoy) menjadi 1,95 persen (yoy) pada bulan April 2025, dengan inflasi bulanan mencapai 1,17 persen (mtm).
Kenaikan IHK dari 107,22 pada Maret 2025 menjadi 108,47 pada April 2025, menurut Josua, didorong oleh beberapa faktor. Salah satu faktor utama adalah berakhirnya diskon tarif listrik untuk pelanggan pascabayar. Meskipun ada penurunan harga bahan bakar nonsubsidi dan diskon 50 persen pada tarif paket internet yang sedikit mengurangi dampaknya, beberapa komoditas tetap menjadi perhatian.
Faktor-faktor Pendorong Inflasi
Beberapa faktor telah berkontribusi terhadap peningkatan inflasi. Berakhirnya diskon tarif listrik pascabayar menjadi salah satu pendorong utama. Meskipun penurunan harga bahan bakar nonsubsidi dan diskon paket internet memberikan sedikit penyeimbang, dampaknya masih terbatas. Inflasi makanan juga melambat seiring berkurangnya permintaan pasca liburan, namun harga beberapa komoditas seperti bawang merah dan cabai merah tetap tinggi akibat keterbatasan pasokan karena cuaca buruk. Sebaliknya, harga cabai rawit dan produk unggas mengalami deflasi signifikan.
Secara tahun kalender (ytd), inflasi mencapai 1,56 persen, melampaui angka 1,18 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Inflasi inti IHK juga meningkat dari 2,48 persen (yoy) menjadi 2,50 persen (yoy), didorong oleh kenaikan harga emas dan pelemahan rupiah di tengah meningkatnya ketegangan perang dagang dan ketidakpastian global. Depresiasi rupiah diperkirakan akan berkontribusi pada imported inflation.
Lebih lanjut, Josua menjelaskan bahwa inflasi sisi penawaran telah melampaui inflasi sisi permintaan, mengindikasikan risiko kenaikan harga yang merembet ke barang dan jasa lainnya. Kondisi ini menunjukkan perlunya perhatian serius terhadap stabilitas ekonomi.
Kebijakan Moneter dan Prospek ke Depan
Menimbang potensi dampak pelemahan rupiah terhadap imported inflation, Josua memperkirakan Bank Indonesia akan mempertahankan suku bunga BI di level 5,75 persen dalam jangka pendek untuk menjaga stabilitas. Namun, jika ketidakpastian global, terutama terkait perang dagang, mereda dan rupiah stabil, ia melihat potensi penurunan suku bunga BI sebesar 50 basis poin (bps) untuk sisa tahun ini.
Ia menambahkan, "Kekhawatiran terhadap perlambatan pertumbuhan PDB juga dapat memperluas ruang untuk penurunan suku bunga." Pernyataan ini menunjukkan bahwa BI akan mempertimbangkan berbagai faktor sebelum mengambil keputusan terkait kebijakan moneter selanjutnya. Situasi ekonomi global dan domestik akan terus dipantau secara ketat.
Secara keseluruhan, proyeksi inflasi 2,33 persen pada akhir 2025 menunjukkan tantangan yang perlu dihadapi pemerintah dan BI dalam menjaga stabilitas harga. Pemantauan ketat terhadap berbagai faktor ekonomi, baik domestik maupun global, sangat penting untuk memastikan inflasi tetap terkendali dan sesuai dengan target yang telah ditetapkan.