Kementan dan Satgas Pangan Selidiki Penutupan Industri Tapioka di Lampung
Kementerian Pertanian dan Satgas Pangan akan melaporkan ke Presiden terkait penutupan sejumlah perusahaan tapioka di Lampung akibat regulasi harga dan rafaksi ubi kayu, yang berdampak pada petani.
![Kementan dan Satgas Pangan Selidiki Penutupan Industri Tapioka di Lampung](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/03/220210.066-kementan-dan-satgas-pangan-selidiki-penutupan-industri-tapioka-di-lampung-1.jpg)
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan), Yudi Sastro, bersama Satgas Pangan akan segera melaporkan kondisi industri ubi kayu di Lampung kepada Presiden. Laporan ini merespon permasalahan sejumlah perusahaan tapioka yang masih tutup pasca penerapan regulasi pengaturan harga dan rafaksi ubi kayu. Hal ini diungkapkan langsung oleh Yudi Sastro di Lampung Tengah, Senin (3/2).
Yudi menjelaskan bahwa Satgas Pangan memiliki peran penting dalam pengawasan operasional industri ubi kayu, termasuk perusahaan tapioka. Karena Satgas Pangan berada di bawah Presiden, laporan langsung akan disampaikan untuk mendapatkan solusi atas permasalahan ini. Menteri Pertanian juga akan menyampaikan laporan tersebut setelah mengumpulkan data lapangan.
Menurut Yudi, pengawasan dari Satgas Pangan dan penegak hukum, dikombinasikan dengan regulasi dari Kementan, seharusnya membuat semua pihak mematuhi aturan. Kementan telah menerbitkan regulasi sesuai surat edaran sebelumnya, dan pemerintah berharap semua pihak, termasuk petani, perusahaan, dan konsumen, tidak dirugikan. Harga ubi kayu telah disepakati sebesar Rp1.350 per kilogram, dan impor dihentikan untuk mendukung industri dalam negeri.
Regulasi tersebut ditujukan sebagai solusi atas konflik antara petani ubi kayu dan perusahaan tapioka. Tujuannya adalah menciptakan keseimbangan agar semua pihak tidak mengalami kerugian. Penetapan harga dan penghentian impor diharapkan dapat menstabilkan pasar dan mendorong aktivitas industri tapioka.
Namun, Kadek Tike dari Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI) Wilayah Mesuji menyampaikan pandangan berbeda. Ia menyatakan bahwa setelah regulasi baru, hanya beberapa perusahaan tapioka yang beroperasi. Banyak perusahaan masih memilih untuk tetap tutup.
Kondisi ini berdampak pada petani. Banyak petani yang menunda panen karena harga jual ubi kayu yang diterima petani masih rendah. Setelah dikurangi biaya rafaksi tanah, rafaksi bonggol, dan biaya lainnya, harga yang diterima petani hanya sekitar Rp900 per kilogram. Meskipun beberapa petani terpaksa memanen karena kebutuhan mendesak, sebagian besar masih menahan panen demi mendapatkan harga yang lebih baik.
Kesimpulannya, permasalahan industri tapioka di Lampung menjadi perhatian serius pemerintah. Kementan dan Satgas Pangan berupaya mencari solusi agar industri dapat berjalan optimal dan kesejahteraan petani terjamin. Laporan langsung kepada Presiden diharapkan dapat mendorong percepatan penyelesaian masalah ini.