Komnas Perempuan Kecam Kasus Pemerkosaan Dokter Residen di Bandung: Dua Korban Baru Muncul
Komnas Perempuan mengecam keras kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh dokter residen di Bandung, Jawa Barat, dengan dua korban baru yang muncul menambah keprihatinan.

Jakarta, 12 April 2025 - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan kecaman keras atas kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang dokter residen anestesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung. Pelaku, seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), telah melakukan tindakan biadab terhadap anggota keluarga pasien. Kasus ini mengejutkan publik dan menimbulkan keprihatinan luas akan keamanan pasien di fasilitas kesehatan.
"Ini masa-masa sulit bagi korban, apalagi mengalami kekerasan seksual di tempat yang semestinya didedikasikan untuk penyembuhan dan perawatan, sungguh di luar nalar dan kemanusiaan, dan pasti sangat berat untuk korban dan keluarganya," ungkap Anggota Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, dalam pernyataan resmi di Jakarta, Sabtu.
Lebih mengejutkan lagi, terungkapnya dua korban baru menambah kompleksitas kasus ini. Kedua korban, perempuan berusia 21 dan 31 tahun, mengalami pelecehan seksual pada 10 dan 16 Maret 2025. Kejadian ini semakin menggarisbawahi pentingnya pengawasan ketat dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual, terutama di lingkungan yang seharusnya aman dan terpercaya.
Kasus Pemerkosaan Dokter Residen di RSHS Bandung
Polda Jawa Barat telah menahan tersangka, seorang dokter residen berinisial PAP (31), peserta PPDS Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad). Penahanan ini merupakan langkah penting dalam proses hukum, namun kasus ini juga menyoroti celah keamanan dan pengawasan di lingkungan rumah sakit.
Komnas Perempuan mengapresiasi keberanian korban yang telah melapor. "Komnas Perempuan menyampaikan dukungan kepada korban yang langsung berani bicara dan melaporkan peristiwa yang dialaminya ke Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Barat, dan mengajak korban lain untuk melapor," ujar Dahlia Madanih. Langkah berani para korban ini diharapkan dapat mendorong korban lain untuk bersuara dan mendapatkan keadilan.
Kasus ini juga menjadi pengingat pentingnya perlindungan bagi pasien di fasilitas kesehatan. Rumah sakit seharusnya menjadi tempat yang aman dan terbebas dari kekerasan, bukan tempat terjadinya kejahatan seksual. Peristiwa ini menodai kepercayaan publik terhadap profesi medis dan menuntut adanya evaluasi menyeluruh terhadap sistem keamanan dan etika profesi di lingkungan rumah sakit.
Catatan Komnas Perempuan dan Implikasinya
Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024, angka kekerasan seksual di ranah publik sangat tinggi, mencapai 1.830 kasus. Yang memprihatinkan, tiga di antaranya terjadi di fasilitas kesehatan. Fakta ini menunjukkan perlunya peningkatan kesadaran dan pencegahan kekerasan seksual di semua sektor, termasuk fasilitas kesehatan.
Dahlia Madanih menyayangkan kejadian ini, mengingat fasilitas kesehatan seharusnya menjadi ruang aman bagi semua penggunanya. Lebih memprihatinkan lagi, pelaku adalah seorang dokter yang seharusnya terikat sumpah dan etika profesi untuk melindungi pasien, bukan justru merugikan mereka. Perilaku PAP ini merupakan pelanggaran serius terhadap sumpah dokter dan etika profesi.
Kejadian ini menuntut respon cepat dan tepat dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, institusi pendidikan kedokteran, dan rumah sakit. Penting untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem keamanan dan protokol penanganan kasus kekerasan seksual di fasilitas kesehatan. Selain itu, perlu ditingkatkan pula edukasi dan pelatihan bagi tenaga kesehatan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Komnas Perempuan berharap kasus ini dapat menjadi momentum untuk memperkuat perlindungan bagi korban kekerasan seksual dan mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Perlu adanya komitmen bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi semua pasien di fasilitas kesehatan.
Ke depan, diharapkan terdapat mekanisme pelaporan yang lebih mudah diakses dan lebih efektif dalam melindungi korban dan menuntut pertanggungjawaban pelaku. Penting juga untuk memastikan bahwa korban mendapatkan dukungan psikososial yang memadai untuk pemulihan trauma yang dialaminya.