Latensi Coretax: Hambatan atau Peluang Peningkatan Tax Ratio Indonesia?
Sistem Coretax, andalan peningkatan tax ratio Indonesia, menghadapi kendala latensi yang menghambat target penerimaan pajak; pemerintah berupaya melakukan perbaikan sebelum Juli 2025.

Jakarta, 09/05/2024 (ANTARA) - Peningkatan tax ratio menjadi agenda krusial nasional untuk memperkuat kemandirian fiskal dan mendanai pembangunan jangka panjang. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan berupaya melakukan reformasi sistemik, termasuk implementasi Coretax Administration System (Coretax), guna memodernisasi administrasi perpajakan. Coretax dirancang untuk menyederhanakan layanan, meningkatkan kepatuhan pajak, dan meminimalisir kebocoran penerimaan negara. Namun, sejak implementasi bertahap pada 2022, Coretax menghadapi masalah latensi yang signifikan, berdampak pada efektivitas pelayanan, terutama saat masa pelaporan pajak.
Masalah latensi Coretax menjadi sorotan utama dalam rapat kerja DJP dengan Komisi XI DPR RI pada 7 Mei 2024. Parlemen menyoroti keresahan wajib pajak akibat latensi ini, yang berpotensi menghambat pencapaian target peningkatan tax ratio. DJP mengakui kendala tersebut dan berkomitmen untuk melakukan perbaikan sebelum Juli 2025. Kementerian Keuangan melalui DJP telah dan akan terus berupaya mengatasi tantangan latensi Coretax demi mencapai target tax ratio pemerintah sebesar 10,4 persen terhadap PDB pada 2025. Meskipun target ini mempertahankan tingkat tax ratio tahun 2024, diharapkan implementasi penuh Coretax dan upaya ekstensifikasi pajak dapat menopang penerimaan pajak melalui peningkatan kepatuhan, perluasan basis pajak, dan efisiensi administrasi.
Target pertumbuhan ekonomi (PDB riil) pada tahun 2025 sebesar 5,3 persen hingga 5,6 persen juga telah ditetapkan pemerintah. Penetapan ini mempertimbangkan pemulihan ekonomi global, perbaikan konsumsi domestik, stabilitas inflasi, dan investasi. Dengan pertumbuhan PDB di atas 5 persen, basis perpajakan Indonesia secara nominal otomatis meningkat, sehingga berpotensi mempertahankan atau meningkatkan tax ratio melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, serta modernisasi sistem administrasi perpajakan.
Coretax dan Modernisasi Perpajakan
Coretax merupakan sistem administrasi perpajakan generasi baru yang menggantikan sistem lama DJP yang tersebar dan tak terintegrasi. Tujuannya adalah menciptakan basis data nasional untuk layanan perpajakan digital, terintegrasi, dan real-time. Sistem ini diharapkan meningkatkan kepatuhan sukarela, memudahkan pelaporan, dan mempercepat proses audit serta penagihan. Dengan Coretax yang optimal, pemerintah menargetkan tax ratio Indonesia naik bertahap dari 10,4 persen (2024) menjadi 12 persen dalam lima tahun ke depan.
Namun, implementasinya tidak berjalan mulus. Coretax sering mengalami latensi, terutama saat pelaporan SPT Tahunan dan bulanan. Wajib pajak mengeluhkan kesulitan akses, keterlambatan validasi, dan kegagalan sistem saat digunakan bersamaan. Komisi XI DPR RI memberikan catatan kritis terhadap DJP, menilai latensi Coretax mengganggu pengguna dan melemahkan kredibilitas pemerintah dalam reformasi digital. Keluhan dari pelaku usaha dan konsultan pajak meningkat, terutama saat sistem gagal memproses SPT tepat waktu.
Komisi XI menekankan bahwa modernisasi digital seharusnya meningkatkan efisiensi, bukan menciptakan hambatan. Kegagalan sistem berdampak pada penurunan kepatuhan dan merusak kepercayaan publik, yang krusial untuk sistem perpajakan yang sehat dan berkelanjutan. DJP mengakui gangguan sistem yang belum tertangani optimal, disebabkan oleh ketidakseimbangan beban server, lonjakan trafik di jam sibuk, integrasi yang belum sempurna antara Coretax dan sistem lama, serta kurangnya kesiapan jaringan dan SDM di beberapa kantor wilayah.
DJP berkomitmen menyelesaikan masalah ini sebelum akhir Juli 2025. Langkah konkret yang akan dilakukan meliputi: upgrade infrastruktur TI, optimalisasi sistem modular Coretax, percepatan integrasi data, penambahan tim teknis respons cepat, dan sosialisasi serta pelatihan kepada wajib pajak dan pegawai DJP.
Pembelajaran dari Pengalaman Internasional
Pengalaman negara lain dalam membangun sistem administrasi pajak digital memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia. India, dengan jumlah wajib pajak besar, pernah mengalami kegagalan sistem GSTN akibat tingginya trafik. India mengatasi masalah ini dengan memperkuat infrastruktur teknologi, membangun sistem antrian digital, dan satuan tugas pemantau sistem.
Estonia, dengan sistem e-Tax, berhasil mengintegrasikan sistem pajak elektronik secara otomatis. Meksiko dan Cile sukses menerapkan e-invoicing real-time dengan melibatkan perusahaan pihak ketiga. Australia, setelah krisis teknologi perpajakan pada 2016, menerapkan peluncuran wilayah terbatas dan saluran cadangan untuk meningkatkan keandalan sistem dan kepercayaan publik.
Dari pengalaman internasional tersebut, terlihat bahwa sistem digital perpajakan memerlukan ketangguhan teknologi, desain bertahap, dan keterlibatan aktor eksternal.
Rekomendasi Strategis
Berkaca pada pengalaman internasional dan domestik, beberapa langkah strategis perlu diambil agar Coretax berfungsi optimal. Pertama, DJP perlu menerapkan pendekatan bertahap dengan uji coba di beberapa wilayah sebelum implementasi nasional. Kedua, dibentuk pusat kendali pemantauan sistem nasional berbasis kecerdasan buatan untuk deteksi dini gangguan. Ketiga, diversifikasi kanal pelayanan dan pelaporan, seperti aplikasi mobile dan chatbot.
Keempat, kolaborasi dengan perusahaan teknologi nasional untuk membangun sistem berbasis microservices. Kelima, pemberian insentif kepada wajib pajak yang menggunakan layanan digital. Terakhir, audit teknologi independen secara berkala untuk memastikan akuntabilitas sistem. Latensi Coretax bukan hanya gangguan teknis, tetapi indikator kesiapan institusi perpajakan dalam era digital. Komitmen DJP untuk menyelesaikan masalah ini sebelum Juli 2025 sangat krusial.
Keberhasilan sistem digital pajak terletak pada peluncuran bertahap, dukungan teknologi adaptif, dan keterlibatan ekosistem digital yang luas. Dengan langkah-langkah konsisten, Indonesia dapat menstabilkan Coretax dan memanfaatkan teknologi untuk pertumbuhan tax ratio yang berkelanjutan.
*) Dr M Lucky Akbar SSos MSi adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi