Mengapa Angka Stunting di NTT Tertinggi Nasional? Kemendukbangga-UB Kolaborasi Turunkan Stunting di NTT
Kemendukbangga dan Universitas Brawijaya (UB) berkolaborasi untuk menekan angka stunting di NTT, yang tercatat sebagai provinsi dengan stunting tertinggi secara nasional. Apa penyebabnya?

Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN bersama Universitas Brawijaya (UB) Malang menjalin kolaborasi riset strategis. Kerja sama ini difokuskan untuk menekan angka stunting di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi tersebut saat ini tercatat sebagai daerah dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia.
Data terbaru tahun 2024 menunjukkan bahwa angka stunting di NTT mencapai 37 persen. Angka ini sangat memprihatinkan dan menjadi perhatian serius bagi pemerintah serta kalangan akademisi. Padahal, NTT memiliki potensi sumber daya alam melimpah, seperti ikan yang kaya protein dan daun kelor.
Kolaborasi riset ini diharapkan mampu mengidentifikasi secara komprehensif akar permasalahan stunting di NTT. Selain itu, upaya ini juga bertujuan merumuskan solusi efektif yang berkelanjutan. Pendekatan perilaku masyarakat juga menjadi fokus penting dalam upaya penurunan stunting secara menyeluruh.
Faktor Penyebab Tingginya Stunting di NTT
Wihaji, Kepala BKKBN, menyoroti paradoks tingginya angka stunting di NTT. Meskipun provinsi ini dikelilingi laut dengan ikan-ikan yang kaya protein, serta memiliki daun kelor yang melimpah, stunting tetap menjadi masalah. Fenomena ini memicu pertanyaan mendalam mengenai penyebab utamanya yang perlu diatasi.
Untuk itu, riset dari UB di NTT menjadi sangat penting dan relevan. Penelitian akan mencakup penanaman jagung untuk mengetahui tanaman yang cocok dengan struktur tanah di NTT. Selain itu, ada juga riset mengenai pengembangan peternakan, khususnya di wilayah Sumba, untuk meningkatkan ketersediaan gizi.
Wihaji juga mengemukakan bahwa salah satu alasan tingginya stunting di NTT terkait masalah perilaku masyarakat. Faktor pernikahan dini juga menjadi penyumbang signifikan terhadap angka stunting. Oleh karena itu, pendekatan dari para tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat sangat dibutuhkan untuk edukasi.
Masyarakat di NTT cenderung lebih mendengarkan nasihat dari pastor, pendeta, dan tokoh agama lainnya. Mereka kurang responsif terhadap anjuran pemerintah dalam hal gizi dan pernikahan. Keterlibatan aktif para tokoh ini diharapkan dapat mengubah perilaku masyarakat demi perbaikan gizi keluarga dan pencegahan stunting.
Rencana Strategis dan Program Unggulan Penurunan Stunting
Koordinator Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRPM) UB, Luchman Hakim, menjelaskan rencana aksi strategis. Bersama Konsorsium Perguruan Tinggi, mereka telah menyusun lima skema untuk NTT dan NTB. Rencana ini mencakup inovasi sosial, kesehatan, pengelolaan pangan, produksi bahan pangan bergizi, dan pengembangan.
Kemendukbangga/BKKBN juga memiliki lima program "quick wins" untuk menghadapi tantangan bonus demografi. Salah satunya adalah Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting (GENTING). Program ini menargetkan satu juta keluarga berisiko stunting (KRS) untuk mendapatkan intervensi nutrisi dan non-nutrisi.
Program unggulan lainnya meliputi Taman Asuh Sayang Anak (TAMASYA), yaitu tempat penitipan anak berstandar. Ada pula Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) yang mengoptimalkan peran ayah dalam pengasuhan. Lansia Berdaya (Sidaya) menyediakan layanan home care berbasis komunitas untuk lansia.
Terakhir, AI SuperApps tentang keluarga menyediakan layanan pembangunan keluarga yang komprehensif. Aplikasi ini mencakup konsultasi, pendataan keluarga, serta ketahanan kependudukan dan usia produktif. Semua inisiatif ini dirancang untuk mendukung penurunan stunting dan peningkatan kualitas keluarga di Indonesia.