Mengapa Interoperabilitas Data Perlindungan Perempuan Korban Kekerasan Mendesak? Ini Penjelasan Menteri PPPA
Menteri PPPA Arifah Fauzi menekankan pentingnya Interoperabilitas Data Perlindungan Perempuan korban kekerasan. Mengapa integrasi sistem ini krusial dan apa saja tantangannya?

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, baru-baru ini menyoroti urgensi interoperabilitas data dalam upaya memperkuat perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Integrasi sistem data antarlembaga menjadi kunci untuk mengatasi fragmentasi informasi yang selama ini menjadi kendala. Langkah ini diharapkan mampu menciptakan gambaran utuh mengenai kasus kekerasan.
Situasi data kekerasan yang belum sepenuhnya terintegrasi di berbagai kementerian dan lembaga menimbulkan sejumlah persoalan. Data kerap kali terfragmentasi, tidak konsisten, bahkan terjadi duplikasi, yang secara signifikan menyulitkan perumusan kebijakan yang tepat sasaran. Padahal, ketersediaan data yang kredibel dan terpadu sangat esensial untuk mendukung upaya perlindungan yang efektif.
Pentingnya berbagi pakai data ini ditekankan untuk memastikan setiap kasus kekerasan dapat ditangani dengan cepat dan akurat. Dengan data yang terintegrasi, pemerintah dan lembaga terkait dapat membuat keputusan yang lebih baik. Ini juga akan mempercepat proses penanganan kasus dan pemulihan korban kekerasan di seluruh Indonesia.
Urgensi Data Kredibel dan Terpadu
Data yang kredibel dan terpadu merupakan fondasi utama dalam merumuskan kebijakan perlindungan yang efektif bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Tanpa data yang akurat dan komprehensif, upaya pencegahan dan penanganan kasus akan kurang optimal. Menteri PPPA Arifah Fauzi menegaskan bahwa data yang valid adalah kunci untuk memahami skala masalah dan menyusun strategi yang tepat.
Saat ini, terdapat tiga sistem utama yang berperan dalam menghimpun data kekerasan, yaitu Simfoni PPA milik Kementerian PPPA, SintasPuan dari Komnas Perempuan, serta Titian Perempuan yang dikembangkan oleh Forum Pengada Layanan (FPL). Masing-masing sistem ini memiliki pendekatan dan teknologi yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama. Tujuan tersebut adalah memperkuat layanan bagi para korban kekerasan.
Interoperabilitas data atau berbagi pakai data menjadi sangat krusial untuk diterapkan pada ketiga sistem tersebut. Dengan integrasi ini, Simfoni PPA, SintasPuan, dan Titian Perempuan dapat saling bertukar serta memanfaatkan data dan informasi yang dipertukarkan. Hal ini memungkinkan setiap sistem saling melengkapi dan memperkuat untuk perumusan kebijakan, penanganan kasus, dan pengambilan keputusan yang lebih cepat dan akurat.
Tantangan Implementasi Interoperabilitas Data
Meskipun urgensi interoperabilitas data sangat tinggi, Menteri PPPA mengakui bahwa pembangunan sistem ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Tantangannya cukup kompleks, melibatkan aspek manusia, proses, dan teknologi secara bersamaan. Perbedaan standar data, regulasi, dan kebijakan antarlembaga menjadi salah satu hambatan utama yang harus diatasi.
Selain itu, perbedaan platform teknologi yang digunakan oleh masing-masing sistem juga menambah kompleksitas. Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum merata dalam mengelola data terintegrasi juga menjadi perhatian. Isu sensitif terkait keamanan dan privasi data korban kekerasan juga harus ditangani dengan sangat hati-hati untuk mencegah penyalahgunaan informasi.
Sebagai bentuk komitmen nyata, Kementerian PPPA, Komnas Perempuan, dan FPL telah menandatangani kesepakatan bersama sejak 21 Desember 2019. Kesepakatan ini berfokus pada sinergi data dan pemanfaatan sistem pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan. Komitmen ini diperpanjang untuk periode 2024-2029, menunjukkan keseriusan dalam memperkuat sinergi data dan sistem pendokumentasian. Tujuannya adalah untuk menghasilkan laporan bersama yang dapat memperkuat penyusunan kebijakan dan koordinasi penanganan kasus, demi terwujudnya perlindungan hak asasi perempuan di Indonesia.