OJK: Bank Harus Antisipasi Dampak Tarif Trump terhadap Debitur
OJK meminta industri perbankan Indonesia memetakan sektor dan debitur yang berpotensi terdampak kebijakan tarif AS dan memperkuat mitigasi risiko kredit.

Jakarta, 28 April 2025 - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengimbau industri perbankan Indonesia untuk segera memetakan sektor dan debitur yang berpotensi terdampak ketidakpastian ekonomi global, khususnya kebijakan tarif impor yang diterapkan Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump. Hal ini disampaikan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, di Jakarta. Kebijakan tarif ini dikhawatirkan akan mengganggu rantai pasok, meningkatkan inflasi global, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia, yang berdampak langsung pada kemampuan debitur untuk membayar kewajiban kreditnya.
Menurut Dian, dampak kebijakan tarif AS perlu diantisipasi secara proaktif oleh perbankan. Langkah antisipatif ini meliputi pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang memadai serta penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dan monitoring kredit. "OJK juga meminta perbankan untuk secara proaktif melakukan asesmen terhadap perkembangan global dan domestik, serta mempersiapkan langkah-langkah antisipasi," tegas Dian.
OJK menekankan pentingnya perbankan untuk mengidentifikasi sektor-sektor ekonomi yang rentan terhadap dampak kebijakan tarif AS. Beberapa sektor yang menjadi perhatian utama meliputi produk ekspor utama Indonesia ke AS, seperti tekstil, alas kaki, mesin elektronik, produk perikanan, dan kelapa sawit. Peningkatan risiko kredit pada sektor-sektor ini perlu diwaspadai dan ditangani secara bijak.
Mitigasi Risiko Kredit dan Penguatan Sistem Keuangan
OJK telah melakukan berbagai upaya untuk memperkuat fondasi sistem keuangan Indonesia, termasuk pendalaman pasar keuangan guna meningkatkan ketahanan dan efisiensi intermediasi perbankan. Upaya ini dilakukan untuk menghadapi gejolak ekonomi global yang semakin kompleks. Sebagai bagian dari strategi mitigasi risiko, OJK secara berkala dan sewaktu-waktu melakukan stress test untuk menilai dampak perubahan kondisi ekonomi, termasuk pengaruh tarif impor AS dan pelemahan nilai tukar rupiah, terhadap kinerja perbankan.
Hasil stress test menunjukkan bahwa rasio kecukupan modal (CAR) perbankan Indonesia masih tergolong tinggi, mencapai 26,95 persen pada Februari 2025. Hal ini menunjukkan kemampuan perbankan dalam menyerap potensi peningkatan risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas. Meskipun demikian, kewaspadaan tetap diperlukan mengingat ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi.
Kinerja intermediasi perbankan pada Februari 2025 relatif stabil dengan profil risiko yang terjaga. Rasio non-performing loan (NPL) gross tercatat 2,22 persen, NPL net 0,81 persen, dan loan at risk (LaR) sebesar 9,77 persen. Kredit perbankan masih menunjukkan pertumbuhan yang positif, mencapai 10,30 persen year on year (yoy) menjadi Rp7.825 triliun.
Sektor Ekonomi Pendorong Pertumbuhan Kredit
Pertumbuhan kredit didorong oleh beberapa sektor ekonomi utama. Sektor industri pengolahan, khususnya industri minyak goreng dan kelapa sawit mentah, industri kertas, dan industri logam dasar bukan besi, menjadi penyumbang utama. Sektor pertambangan, terutama pertambangan logam dan biji timah, serta batu bara dan gambut, juga berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan kredit. Pertumbuhan kredit investasi mencapai 14,62 persen yoy, diikuti kredit konsumsi 10,31 persen, dan kredit modal kerja 7,66 persen.
Bank BUMN menjadi pendorong utama pertumbuhan kredit dengan angka 10,93 persen yoy. Dari sisi debitur, kredit korporasi tumbuh sebesar 15,95 persen, sedangkan kredit UMKM tumbuh sebesar 2,51 persen. Data ini menunjukkan dinamika sektor riil yang perlu dipantau secara ketat oleh perbankan dan OJK untuk memastikan stabilitas sistem keuangan nasional di tengah tantangan global.
OJK terus memantau perkembangan ekonomi global dan dampaknya terhadap sektor perbankan di Indonesia. Langkah-langkah antisipatif dan mitigasi risiko yang tepat akan sangat penting untuk menjaga stabilitas dan kesehatan sistem keuangan Indonesia di tengah ketidakpastian ekonomi global.