OJK Dorong Bank Perkuat Manajemen Risiko Hadapi Ketidakpastian Ekonomi Global
OJK meminta bank di Indonesia memperkuat manajemen risiko untuk menghadapi dampak ketidakpastian ekonomi global, terutama terkait kebijakan tarif AS dan fluktuasi nilai tukar.

Jakarta, 28 April 2025 - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengimbau industri perbankan Indonesia untuk meningkatkan kewaspadaan dan memperkuat manajemen risiko guna menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Imbauan ini dilatarbelakangi oleh kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) dan dampaknya terhadap perdagangan global serta pertumbuhan ekonomi dunia. Hal ini disampaikan langsung oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, di Jakarta.
Menurut Dian, kebijakan tarif AS berpotensi mempengaruhi fluktuasi nilai tukar dan berdampak pada nilai aset serta kewajiban bank. Oleh karena itu, OJK mendorong bank untuk melakukan pemantauan dan evaluasi portofolio secara intensif, serta melakukan stress test dengan berbagai skenario untuk mengidentifikasi risiko dan menyiapkan mitigasi yang tepat. Langkah ini penting untuk mengantisipasi dampak terhadap risiko pasar, risiko kredit, dan risiko likuiditas.
Meskipun terdapat ketidakpastian global, Dian menyatakan bahwa kinerja industri perbankan Indonesia hingga Februari 2025 masih tergolong baik. Hal ini terlihat dari Posisi Devisa Neto (PDN) yang berada pada level 1,55 persen, jauh di bawah threshold 20 persen. Kondisi ini menunjukkan eksposur langsung bank terhadap risiko nilai tukar relatif kecil, sehingga pelemahan nilai tukar tidak akan secara signifikan mempengaruhi neraca bank.
Mitigasi Risiko dan Strategi Perbankan
OJK menyarankan agar perbankan tetap menerapkan strategi pengembangan bisnis secara selektif dan prudent. Dian menjelaskan bahwa kredit valuta asing (valas) yang diberikan umumnya merupakan produk atau kegiatan berbasis ekspor yang memiliki basis penerimaan dalam valas (naturally hedged). Selain itu, PDN bank berada dalam posisi long, yang berarti eksposur langsung bank dalam bentuk valuta asing di sisi kredit dan surat berharga justru akan meningkatkan nilai aset bank saat terjadi depresiasi rupiah, sehingga berdampak positif pada profitabilitas.
Pertumbuhan kredit valas juga lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) valas, yaitu 16,30 persen year on year (yoy) dan 7,09 persen yoy. Meskipun demikian, loan to deposit ratio (LDR) valas meningkat menjadi 81,43 persen (Februari 2025) dari 74,98 persen (Februari 2024).
Likuiditas industri perbankan juga masih tergolong aman dengan rasio liquidity coverage ratio (LCR) sebesar 210,14 persen. LDR mencapai 87,67 persen dengan pertumbuhan kredit yoy sebesar 10,30 persen dan pertumbuhan DPK sebesar 5,75 persen. Rasio non-performing loan (NPL) terjaga pada angka 2,22 persen, dan permodalan (CAR) berada pada level tinggi, yaitu 26,98 persen.
Ketidakpastian Global dan Penguatan Koordinasi
Dian mengakui bahwa ketidakpastian ekonomi global, yang dipengaruhi oleh kebijakan tarif AS dan gangguan rantai pasok produksi internasional, memberikan tekanan terhadap stabilitas perekonomian global dan mempengaruhi persepsi investor terhadap perekonomian Indonesia. Namun, beliau juga menekankan bahwa kondisi ini dapat menjadi momentum untuk meningkatkan koordinasi kebijakan guna meningkatkan daya saing dan menjaga stabilitas makroekonomi nasional.
Dian menambahkan bahwa pemerintahan AS menunda pemberlakuan tarif dan masih dilakukan berbagai upaya untuk mendiskusikan hal tersebut. Beliau juga menekankan bahwa debitur yang dibiayai perbankan tidak selalu terkait dengan isu ini, dan masih banyak peluang yang dapat dimanfaatkan dalam perdagangan internasional saat ini.
Sebagai penutup, OJK terus memantau perkembangan situasi dan mendorong industri perbankan untuk selalu siap menghadapi berbagai tantangan ekonomi global dengan menerapkan manajemen risiko yang kuat dan strategi bisnis yang tepat. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas dan kesehatan sistem keuangan Indonesia.