Penerimaan Bea Cukai Kalsel Melonjak 690 Persen, Kontras dengan APBN Nasional
Meskipun APBN Kalsel mengalami kontraksi, penerimaan bea cukai justru tumbuh signifikan hingga 690,42 persen pada tahun 2025, mencapai Rp163,84 miliar.

Banjarmasin, 22 Maret 2026 - Kinerja keuangan di Kalimantan Selatan (Kalsel) menunjukkan tren yang menarik. Di tengah kontraksi penerimaan APBN secara umum, penerimaan bea cukai justru mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Kalimantan Selatan (Kanwil DJPb Kalsel) mencatat lonjakan pendapatan bea cukai sebesar 690,42 persen pada tahun 2025.
Pertumbuhan ini sangat kontras dengan kondisi APBN Kalsel secara keseluruhan. Kepala Kanwil DJPb Kalsel, Syafriadi, menjelaskan bahwa realisasi penerimaan negara di Kalsel pada tahun 2025 hanya mencapai Rp820,38 miliar, atau 3,73 persen dari target Rp22,02 triliun. Hal ini menunjukkan kontraksi sebesar 64,71 persen. Namun, di tengah penurunan tersebut, sektor kepabeanan dan cukai justru menjadi titik terang dengan capaian yang luar biasa.
Secara rinci, penerimaan kepabeanan dan cukai di Kalsel pada tahun 2025 mencapai angka Rp163,84 miliar. Selain itu, terdapat penerimaan lain yang dipungut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebesar Rp717,80 miliar, serta Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) sebesar Rp318,40 miliar yang terdiri dari PPh impor (Rp59,65 miliar) dan PPN impor (Rp258,8 miliar).
Pertumbuhan Bea Cukai di Kalsel: Sebuah Fenomena
Pertumbuhan penerimaan bea cukai sebesar 690,42 persen di Kalsel menjadi sorotan utama. Meskipun penyebab pasti dari lonjakan ini masih perlu diteliti lebih lanjut, pertumbuhan ini menunjukkan potensi ekonomi yang signifikan di wilayah tersebut. Faktor-faktor seperti peningkatan aktivitas impor dan ekspor barang, serta kebijakan pemerintah yang mendukung, mungkin menjadi beberapa faktor yang berkontribusi pada pertumbuhan ini.
Syafriadi menekankan bahwa sektor kepabeanan dan cukai menunjukkan tren positif meskipun penerimaan negara secara umum mengalami kontraksi. Hal ini menunjukkan pentingnya peran sektor ini dalam menopang pendapatan negara di Kalsel. Lebih lanjut, perlu dilakukan analisis lebih mendalam untuk memahami faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ini serta bagaimana keberlanjutannya dapat dijaga.
Pemerintah daerah dan pusat perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa pertumbuhan ini berkelanjutan dan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pembangunan ekonomi di Kalsel. Pemantauan dan evaluasi yang ketat terhadap penerimaan bea cukai sangat penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.
Kontraksi APBN Kalsel: Sektor Lain Mengalami Penurunan
Di sisi lain, sejumlah sektor penerimaan negara di Kalsel mengalami kontraksi. Penerimaan perpajakan, yang mendominasi pendapatan negara, mengalami penurunan signifikan. Penerimaan PPh non-migas misalnya, hanya mencapai Rp1,05 triliun, atau mengalami kontraksi sebesar 8,31 persen. Penerimaan PBB juga mengalami kontraksi yang tajam, sebesar -90,64 persen, disebabkan oleh perpindahan wajib pajak cabang yang melakukan setoran PBB ke KPP tempat wajib pajak pusat terdaftar.
Penerimaan PPN dan PPnBM bahkan mengalami kontraksi yang sangat besar, sebesar -218,51 persen, yang disebabkan oleh peningkatan restitusi. Meskipun demikian, terdapat beberapa sektor yang menunjukkan pertumbuhan positif, seperti penerimaan dari pajak lainnya (tumbuh 149,61 persen) dan pendapatan dari Badan Layanan Umum (BLU) (tumbuh 11,78 persen).
Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga mengalami kontraksi sebesar 13,5 persen, yang terutama disebabkan oleh penurunan PNBP lainnya sebesar 23,61 persen. Beberapa PNBP yang dikelola DJKN, seperti aset, piutang negara, dan lelang, berkontribusi sebesar Rp5,25 miliar terhadap pendapatan negara.
Secara keseluruhan, data ini menunjukkan kompleksitas kondisi keuangan di Kalsel. Pertumbuhan signifikan di sektor bea cukai menjadi titik terang, namun kontraksi di sektor lain membutuhkan perhatian serius dari pemerintah untuk mencari solusi dan strategi yang tepat.
Analisis lebih lanjut diperlukan untuk memahami secara komprehensif faktor-faktor yang menyebabkan kontraksi di berbagai sektor penerimaan negara di Kalsel. Hal ini penting untuk merumuskan kebijakan yang tepat guna meningkatkan pendapatan negara dan mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di wilayah tersebut.