Penghapusan Kuota Impor: Solusi Percepat Pemenuhan Kebutuhan Daging Sapi di Indonesia?
Peneliti CIPS menyoroti dampak positif penghapusan kuota impor daging sapi terhadap ketersediaan dan harga di pasaran, mendorong revisi regulasi terkait.

Jakarta, 02 Mei 2024 (ANTARA) - Penghapusan kebijakan kuota impor daging sapi di Indonesia berpotensi signifikan meningkatkan ketersediaan daging sapi dan menstabilkan harganya. Hal ini disampaikan oleh Hasran, peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), menanggapi kinerja perdagangan komoditas tersebut. Kebijakan kuota impor sebelumnya dinilai menghambat respon cepat terhadap kebutuhan pasar dan menyebabkan harga daging sapi melambung tinggi.
Menurut Hasran, birokrasi yang panjang dan alokasi kuota impor kepada perusahaan-perusahaan tertentu tanpa transparansi menjadi penyebab utama permasalahan ini. Sistem perizinan impor non-otomatis, yang melibatkan Persetujuan Impor (PI) dari Kementerian Perdagangan, dinilai tidak efisien dan tidak responsif terhadap fluktuasi permintaan. Proses ini, yang melibatkan sistem Neraca Komoditas (NK), membuat pengadaan daging sapi menjadi rumit dan lambat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kesenjangan antara produksi dan konsumsi daging sapi di Indonesia. Produksi nasional tahun 2024 mencapai 478.850 ton, dengan Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah sebagai produsen utama. Namun, kebutuhan konsumsi domestik mencapai 680.020 ton, menunjukkan defisit yang signifikan dan bergantung pada impor.
Regulasi Impor Daging Sapi yang Perlu Direvisi
Hasran menekankan perlunya revisi regulasi untuk mempercepat proses impor dan memenuhi kebutuhan pasar. Ia menyarankan revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024, dengan mengeluarkan daging sapi dari daftar barang larangan dan/atau pembatasan (lartas). Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2024 juga perlu direvisi agar Neraca Komoditas tidak lagi menjadi dasar penetapan kuota impor.
Lebih lanjut, Hasran menjelaskan bahwa penelitian CIPS menunjukkan panjangnya rantai distribusi daging sapi lokal, yang melibatkan tujuh hingga sembilan tahapan sebelum sampai ke konsumen, mengakibatkan munculnya biaya tambahan, terutama biaya transportasi. Hal ini turut berkontribusi pada tingginya harga daging sapi di pasaran.
"Regulasi impor daging perlu direvisi untuk menyederhanakan proses dan lebih responsif terhadap kebutuhan pasar. Arahan untuk menghapus kuota impor bisa menjadi awal untuk menyederhanakan proses ini," ujar Hasran.
Tantangan dan Solusi Ketahanan Pangan Daging Sapi
Meskipun penghapusan kuota impor diharapkan dapat mengatasi masalah ketersediaan dan harga daging sapi, tantangan tetap ada. Indonesia masih membutuhkan impor untuk menutupi defisit produksi. Peningkatan permintaan seiring pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan, terutama di kelas menengah, perlu diantisipasi.
Pemerintah perlu memastikan pasokan daging sapi impor tetap tercukupi dan harga tetap terjangkau bagi masyarakat. Di sisi lain, upaya peningkatan produksi daging sapi lokal juga perlu digalakkan melalui berbagai program peningkatan produktivitas peternakan dan pengembangan infrastruktur pendukung.
Dengan demikian, penghapusan kuota impor bukanlah solusi tunggal, melainkan bagian dari strategi yang lebih komprehensif untuk mencapai ketahanan pangan daging sapi di Indonesia. Revisi regulasi, peningkatan produksi lokal, dan pengawasan harga menjadi kunci keberhasilan strategi ini.
Selain itu, transparansi dalam proses impor juga penting untuk mencegah praktik monopoli dan memastikan distribusi yang merata. Dengan demikian, diharapkan masyarakat dapat mengakses daging sapi dengan harga yang wajar dan kualitas yang terjamin.
Kesimpulan
Penghapusan kuota impor daging sapi berpotensi besar mengatasi permasalahan ketersediaan dan harga. Namun, keberhasilannya bergantung pada revisi regulasi yang tepat, peningkatan produksi dalam negeri, dan pengawasan yang efektif. Integrasi berbagai strategi ini akan menjadi kunci dalam mencapai ketahanan pangan daging sapi di Indonesia.