Perang Dagang Global: Strategi Indonesia Jaga Muruah Industri Nasional
Indonesia menghadapi dilema dalam perang dagang global, namun langkah strategis hilirisasi, diversifikasi, dan pembentukan Satgas Perlindungan Industri dinilai mampu menjaga daya tahan industri nasional.

Jakarta, 02 Mei 2025 (ANTARA) - Perang dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memanas, menempatkan Indonesia dalam posisi yang sulit. Negara kita berpotensi menjadi korban tarik-menarik kepentingan dua kekuatan besar, atau justru mengambil peran strategis baru dalam rantai pasok global. Tarif tambahan 32 persen terhadap ekspor Indonesia ke Amerika Serikat menimbulkan kekhawatiran serius terhadap neraca perdagangan, lapangan kerja, dan daya saing industri dalam negeri.
Rapat Kerja Komisi VII DPR RI bersama Menteri Perindustrian pada 29 April 2025 lalu menjadi forum penting untuk membahas respons terhadap tantangan ini. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa dibutuhkan pendekatan sistemik dan lintas sektor untuk menjaga daya tahan industri nasional menghadapi kebijakan proteksionisme Amerika Serikat. Tidak cukup hanya dengan solusi jangka pendek; strategi yang komprehensif dan berkelanjutan mutlak diperlukan.
Situasi ini menuntut Indonesia untuk mengambil langkah proaktif dan terukur. Ketahanan industri nasional tidak hanya soal angka-angka ekonomi, tetapi juga menyangkut keberlangsungan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi yang tepat sasaran dan terintegrasi untuk menghadapi tantangan ini.
Hilirisasi, Diversifikasi, dan Perlindungan Industri
Beberapa strategi kunci telah diidentifikasi untuk menghadapi tantangan ini. Pertama, hilirisasi dan diversifikasi produk industri manufaktur harus menjadi prioritas. Hal ini berarti meningkatkan nilai tambah produk sebelum ekspor dan mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor tradisional. Langkah ini harus dibarengi dengan perluasan pasar ekspor non-tradisional dan penguatan pasar domestik, serta diplomasi perdagangan bilateral dan multilateral yang aktif.
Kedua, pemerintah perlu mengantisipasi trade diversion atau pengalihan perdagangan. Instrumen proteksi seperti Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), countervailing, dan tindakan pengamanan (safeguard) perlu dipersiapkan dan diimplementasikan secara efektif. Hal ini penting untuk mencegah masuknya produk impor yang dapat merusak industri dalam negeri.
Ketiga, insentif fiskal dan non-fiskal untuk investasi manufaktur, termasuk bagi UMKM, harus direalisasikan secara cepat dan merata. Hal ini akan mendorong pertumbuhan industri dan menciptakan lapangan kerja. Pemerintah perlu memastikan bahwa insentif tersebut benar-benar sampai kepada para pelaku usaha, terutama UMKM.
Keempat, implementasi insentif padat karya seperti pembebasan PPh 21, subsidi bunga investasi, dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) juga sangat penting. Insentif ini akan membantu mengurangi beban biaya produksi dan meningkatkan daya saing industri dalam negeri.
Peran Strategis Satgas Perlindungan Industri
Pembentukan Satgas Perlindungan Industri di bawah Kementerian Perindustrian merupakan langkah krusial untuk mencegah banjir produk impor dan menjaga stabilitas industri nasional. Satgas ini bukan sekadar wacana, melainkan perangkat penting negara untuk menghadapi ancaman nyata berupa produk-produk dumping dari luar negeri yang dapat mematikan usaha lokal.
Satgas ini harus melibatkan lintas kementerian, termasuk Bea Cukai, Kepolisian, dan Kejaksaan, untuk menjalankan fungsi intelijen pasar, penegakan hukum, dan advokasi industri. Kehadirannya sangat penting untuk memastikan pelaku industri kecil dan menengah tidak menjadi korban dari kebijakan perdagangan yang tidak terkoordinasi.
Satgas harus menjadi “mata dan telinga negara” di lapangan, mengawasi dan memastikan produk dalam negeri mendapatkan ruang untuk tumbuh secara sehat dan adil. Hal ini akan menciptakan iklim usaha yang kondusif dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Reformasi Kawasan Berikat
Pembahasan dengan Menteri Perindustrian juga menyoroti perlunya mengembalikan fungsi Kawasan Berikat sesuai dengan tujuan awal pembentukannya, yaitu mendorong ekspor dan pertumbuhan industri berorientasi global. Namun, dalam praktiknya, Kawasan Berikat seringkali hanya dimanfaatkan sebagai fasilitas perpajakan dan perizinan, tanpa mendorong kinerja ekspor yang signifikan.
Komisi VII DPR RI menekankan perlunya reformasi Kawasan Berikat agar menjadi ekosistem produksi dan ekspor yang sebenarnya, bukan sekadar zona logistik atau penyimpanan. Pemerintah perlu menetapkan standar minimum kontribusi ekspor dari pelaku industri di Kawasan Berikat, serta mendorong penyelarasan fasilitas kawasan ini dengan insentif industri hijau.
Kawasan Berikat juga dapat dijadikan pilot project untuk digitalisasi rantai pasok dan integrasi teknologi industri 4.0. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya menjadi produsen, tetapi juga pemain penting dalam jaringan logistik dan teknologi manufaktur global.
Solusi Struktural Jangka Panjang
Indonesia memiliki basis domestik yang kuat, dengan sekitar 70 hingga 80 persen produksi manufaktur diserap oleh pasar dalam negeri. Bonus demografi dan pertumbuhan kelas menengah menjadi modal besar untuk membangun industri yang mandiri dan kompetitif. Yang dibutuhkan adalah keberpihakan konsisten pada industri nasional.
Langkah-langkah strategis seperti tax holiday, super deduction, dan subsidi bunga KUR merupakan pijakan penting. Namun, tantangannya terletak pada pelaksanaan dan keberlanjutan program-program tersebut. Monitoring dan evaluasi yang ketat dan berbasis data sangat diperlukan untuk memastikan efektivitasnya.
Selain itu, reformasi struktural juga diperlukan untuk mengatasi akar masalah, seperti regulasi yang tumpang tindih, lemahnya daya saing SDM, dan belum optimalnya kawasan industri. Komisi VII DPR RI perlu meminta laporan berkala atas efektivitas semua insentif yang telah dijanjikan, dan memastikan bahwa insentif tersebut benar-benar sampai kepada IKM serta berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan ekspor.
Komisi VII DPR RI memiliki peran strategis dalam mengawal kebijakan industri. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk melahirkan peraturan yang mendukung penciptaan nilai tambah, transformasi digital industri, dan daya saing jangka panjang. Dengan kerja sama yang solid antara pemerintah dan parlemen, Indonesia dapat melewati badai perang dagang dan tumbuh sebagai kekuatan manufaktur baru di Asia.