Perang Tarif: Peluang Emas Indonesia Jadi Basis Produksi Manufaktur
Dinamika perang tarif global menciptakan peluang bagi Indonesia untuk menjadi basis produksi manufaktur, menarik investasi asing, dan meningkatkan daya saing ekonomi nasional.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Peneliti UGM, Ronald Eberhard, dalam webinar di Jakarta pada Senin, 5 Mei, mengungkapkan bahwa perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China menciptakan peluang bagi Indonesia untuk menjadi pusat produksi manufaktur. Perang tarif ini telah mengubah peta perdagangan global, mendorong investor mencari lokasi produksi dengan tarif rendah. Indonesia, dengan tarif balasan rata-rata 32 persen, lebih rendah daripada negara pesaing seperti Vietnam (46 persen), memiliki keunggulan kompetitif.
Perang tarif ini terjadi karena kebijakan proteksionis AS di bawah pemerintahan Donald Trump, yang mengenakan tarif tinggi pada barang impor dari China. China membalas dengan tarif serupa, mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi global. Indonesia, sebagai negara berkembang, memiliki potensi untuk memanfaatkan situasi ini dengan menarik investasi asing yang sebelumnya terkonsentrasi di AS dan China.
Menurut Eberhard, pemerintah Indonesia perlu melakukan negosiasi perdagangan yang komprehensif, tidak hanya dengan AS, tetapi juga dengan China dan negara-negara ASEAN untuk memaksimalkan peluang ini. Selain itu, Indonesia juga harus memperkuat hambatan perdagangan non-tarif untuk melindungi pasar domestik dari lonjakan impor.
Potensi Indonesia di Tengah Perang Tarif
Ronald Eberhard menekankan pentingnya Indonesia untuk mengambil posisi sebagai basis produksi manufaktur. Dengan tarif impor yang relatif rendah, Indonesia dapat menarik investasi asing yang mencari alternatif lokasi produksi di tengah perang dagang AS-China. Hal ini berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.
Ia menambahkan bahwa Indonesia perlu jeli membaca peta politik dan ekonomi global. Pergeseran arus perdagangan dan perubahan rantai pasokan global (global supply chain) dan regional (regional value chain) harus diantisipasi dengan strategi yang tepat. Pemerintah harus proaktif dalam menarik investasi dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Selain itu, Indonesia juga perlu memperkuat daya saing produk domestik agar mampu bersaing dengan produk impor. Penguatan infrastruktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan inovasi teknologi menjadi kunci untuk mencapai hal tersebut.
Ancaman Impor dan Strategi Perlindungan
Meskipun terdapat peluang besar, Indonesia juga perlu mewaspadai ancaman lonjakan impor. Kebijakan tarif tinggi AS terhadap produk China berpotensi mengalihkan arus impor ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, penguatan hambatan perdagangan non-tarif (nontariff measure/barrier) sangat penting.
Hambatan non-tarif ini dapat berupa regulasi teknis, standar kualitas, dan prosedur bea cukai yang ketat. Hal ini bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri dari persaingan yang tidak sehat dan memastikan kualitas produk yang beredar di pasar domestik.
Pemerintah perlu menyusun strategi yang komprehensif untuk mengelola dampak perang tarif, baik peluang maupun ancamannya. Kerjasama antar kementerian dan lembaga terkait sangat penting untuk memastikan keselarasan kebijakan dan efektivitas implementasi.
Kesimpulan
Perang tarif global memberikan peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan momentum ini untuk menjadi basis produksi manufaktur, menarik investasi asing, dan meningkatkan daya saing ekonomi nasional. Namun, Indonesia juga perlu waspada terhadap potensi lonjakan impor dan memperkuat hambatan perdagangan non-tarif untuk melindungi industri dalam negeri.