Polisi Larang Kritik, Langgar Perintah Kapolri? Mantan Kompolnas Bereaksi
Mantan anggota Kompolnas, Poengky Indarti, menilai pelarangan kritik terhadap polisi bertentangan dengan pernyataan Kapolri yang mendorong transparansi dan perbaikan institusi.

Seorang mantan anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, menyatakan bahwa tindakan anggota kepolisian yang melarang masyarakat mengkritik institusi tersebut justru bertentangan dengan arahan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo. Pernyataan ini muncul sebagai respons atas permintaan maaf grup musik Sukatani terkait lagu "Bayar Bayar Bayar" yang berisi kritik terhadap praktik pungli di kepolisian. Kejadian ini berlangsung di Jakarta pada Jumat, 21 Februari 2024.
Poengky Indarti menekankan bahwa Kapolri telah berulang kali menyatakan bahwa Polri tidak antikritik, bahkan menganggap kritik sebagai bentuk masukan berharga untuk perbaikan. Ia mengutip pernyataan Kapolri, "Bapak Kapolri berkali-kali menyampaikan Polri tidak antikritik. Siapa yang berani mengkritik keras Polri, justru akan menjadi sahabat Polri." Dengan demikian, menurutnya, melarang kritik sama saja melawan arahan langsung dari pimpinan tertinggi kepolisian.
Lagu "Bayar Bayar Bayar" dari grup musik Sukatani, yang berisi lirik seperti "Mau bikin SIM, bayar polisi; ketilang di jalan, bayar polisi," menjadi pemicu polemik ini. Meskipun Sukatani telah meminta maaf, Poengky Indarti melihat lagu tersebut sebagai bentuk ekspresi seni dan kritik sosial terhadap dugaan praktik pungutan liar di tubuh kepolisian. Ia membandingkan hal ini dengan musisi lain yang kerap menyuarakan kritik sosial melalui karya mereka, seperti Iwan Fals dan John Lennon.
Kritik Sebagai Sarana Perbaikan
Poengky Indarti, yang juga menjabat sebagai anggota Kompolnas periode 2020-2024, menganggap bahwa larangan terhadap kritik justru menghambat proses perbaikan di internal kepolisian. Ia menyarankan agar pengawasan internal dan penindakan terhadap oknum polisi yang melakukan pelanggaran, seperti pungli, menjadi prioritas utama. Lebih lanjut, ia menilai bahwa meminta maaf dari Sukatani bukanlah solusi yang tepat.
Menurutnya, lagu "Bayar Bayar Bayar" merupakan refleksi dari keresahan masyarakat terhadap praktik-praktik yang merugikan. Poengky menekankan pentingnya kebebasan berekspresi dan menilai pelarangan terhadap kritik sebagai tindakan yang tidak tepat. Ia berharap masyarakat tetap berani menyuarakan kritik untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas di lingkungan kepolisian.
Poengky Indarti juga menyampaikan bahwa "Hal tersebut merupakan bentuk dari kebebasan berekspresi, yang disampaikan melalui seni, sehingga tidak layak untuk dilarang, diproses hukum, dan diadili." Pernyataan ini memperkuat argumennya bahwa kritik, meskipun disampaikan melalui media seni seperti lagu, tetap dilindungi oleh kebebasan berekspresi.
Ia menambahkan bahwa langkah yang lebih efektif adalah dengan melakukan pengawasan melekat dan memeriksa anggota Polri yang diduga melakukan tindakan transaksional. Dengan demikian, akar masalah dapat diatasi, bukan hanya gejalanya.
Tanggapan Kapolri
Menanggapi kontroversi ini, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menegaskan kembali bahwa kepolisian tidak antikritik. Ia menekankan pentingnya menerima kritik sebagai masukan untuk perbaikan institusi. Kapolri juga menyatakan bahwa kritik dapat menjadi pemantik bagi Polri untuk berbenah dan menjadi lebih baik lagi.
Kapolri menambahkan bahwa, "Dalam menerima kritik, tentunya kami harus legawa dan yang penting ada perbaikan. Kalau mungkin ada yang tidak sesuai dengan hal-hal yang disampaikan, bisa diberikan penjelasan." Pernyataan ini menunjukkan komitmen Polri untuk memperbaiki diri dan menanggapi kritik secara konstruktif.
Sikap Kapolri ini selaras dengan pernyataan Poengky Indarti, yang juga menekankan pentingnya kritik sebagai bagian dari proses perbaikan dan akuntabilitas di tubuh kepolisian. Namun, perbedaan pendapat terletak pada cara penanganannya, di mana Poengky Indarti lebih menekankan pada penindakan terhadap oknum yang melakukan pelanggaran ketimbang membatasi kebebasan berekspresi.
Kesimpulannya, perdebatan ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan penegakan hukum. Kritik terhadap institusi kepolisian, selama disampaikan secara bertanggung jawab, harus dihargai sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Penindakan terhadap oknum yang melakukan pelanggaran hukum jauh lebih penting daripada membungkam kritik.