Program Pemerintah Didorong Perbanas untuk Tingkatkan Permintaan Kredit Nasional
Waketum Perbanas Alexandra Askandar optimistis program pemerintah dapat mendorong permintaan kredit dalam negeri, sehingga dapat mengurangi dampak negatif tarif resiprokal AS.

Wakil Ketua Umum I Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Alexandra Askandar, menyatakan keyakinannya bahwa program-program pemerintah akan menjadi pendorong utama peningkatan permintaan kredit di Indonesia. Hal ini disampaikannya sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif dari melemahnya permintaan di sektor-sektor yang terkena dampak tarif resiprokal yang diterapkan Amerika Serikat.
Pernyataan tersebut disampaikan Alexandra usai mengikuti program siniar (podcast) ANTARA TV di Grha BNI, Jakarta, Kamis (24/4). Ia menjelaskan bahwa meskipun beberapa sektor perekonomian memang terdampak kebijakan tarif AS, masih banyak sektor lain yang memiliki potensi pertumbuhan dan dapat menjadi sumber permintaan kredit baru. Alexandra menekankan pentingnya bank-bank untuk fokus pada sektor-sektor yang tidak terdampak, sehingga pertumbuhan kredit secara keseluruhan tetap terjaga.
Dengan strategi ini, dampak negatif kebijakan tarif AS terhadap kinerja kredit industri perbankan nasional diharapkan dapat diminimalisir. Alexandra optimistis bahwa peningkatan permintaan domestik akan mampu mengimbangi penurunan permintaan dari sektor ekspor yang terdampak.
Program Pemerintah sebagai Penopang Pertumbuhan Kredit
Alexandra mencontohkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai salah satu program pemerintah yang berpotensi mendorong pertumbuhan kredit. Program ini membuka peluang bagi perbankan untuk menyalurkan kredit modal kerja kepada UMKM yang menjadi mitra pemerintah dalam program tersebut. Meskipun kebutuhan modal kerjanya mungkin singkat, program ini tetap berkontribusi pada pertumbuhan kredit dari sektor yang berbeda.
Ia menambahkan bahwa setiap bank memiliki kebijakan internal masing-masing dalam mendorong pertumbuhan kredit, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi global dan domestik. Namun, likuiditas dan kualitas aset (asset quality) tetap menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan dalam menghadapi ketidakpastian global.
Alexandra juga menyinggung rata-rata loan to deposit ratio (LDR) industri perbankan yang saat ini berada di sekitar 90 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Likuiditas yang tidak seluas periode sebelumnya akan menjadi faktor penentu dalam mendorong pertumbuhan kredit. Namun, bank-bank juga akan lebih berhati-hati dalam menjaga kualitas aset dan pertumbuhan kredit, terutama pada sektor-sektor yang berisiko terdampak kebijakan tarif AS.
Likuiditas dan Kualitas Aset: Faktor Kunci dalam Pertumbuhan Kredit
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa loan to deposit ratio (LDR) perbankan berada pada level 87,67 persen per Februari 2025. Meskipun demikian, OJK menyatakan bahwa likuiditas industri perbankan tetap memadai, dengan rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih di atas ambang batas (threshold).
OJK juga menekankan pentingnya pemantauan dampak kebijakan global dan domestik terhadap kondisi ekonomi dan kinerja debitur. Hal ini termasuk melakukan stress test secara rutin untuk mitigasi risiko. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengingatkan akan tantangan yang dihadapi perbankan akibat ketidakpastian global, terutama terkait kebijakan tarif impor AS yang berpotensi meningkatkan inflasi.
Kesimpulannya, meskipun terdapat risiko dari kebijakan tarif AS, program-program pemerintah dinilai mampu mendorong permintaan kredit dan mengimbangi dampak negatif tersebut. Perbankan diharapkan dapat memanfaatkan peluang ini dengan tetap memperhatikan aspek likuiditas dan kualitas aset untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.