Ramai-Ramai Berburu Baju Lebaran di Tanah Abang, Tapi Ada Apa?
Penjualan baju Lebaran di Pasar Tanah Abang tahun ini lesu, meski tetap ramai, hal ini disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Pasar Tanah Abang, pusat grosir sandang terbesar di Asia Tenggara, di Jakarta, ramai dikunjungi pembeli yang mencari baju Lebaran menjelang Idul Fitri 2025. Namun, di balik keramaian tersebut, terdapat penurunan penjualan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat yang diakibatkan oleh deflasi dan hilangnya lapangan pekerjaan di sektor manufaktur. Para pedagang mengeluhkan penurunan omzet yang cukup drastis, sementara pembeli seperti Caca dari Pandeglang mengaku lebih puas berbelanja langsung karena bisa memeriksa kualitas bahan, meskipun harga online lebih murah.
Meskipun banyak pembeli dari luar Jakarta masih menjadikan Tanah Abang sebagai tujuan utama berbelanja baju Lebaran karena kualitasnya yang terjamin, tren belanja daring di kalangan Generasi Z mulai memengaruhi penjualan. Umiyati, pembeli dari Indramayu, tetap setia berbelanja di Tanah Abang karena kualitas yang telah teruji selama puluhan tahun. Namun, kenyataannya, perbedaan signifikan terlihat dalam omzet penjualan tahun ini dibandingkan tahun lalu, menunjukkan dampak penurunan daya beli yang cukup signifikan.
Meskipun Pasar Tanah Abang tetap ramai, terutama menjelang momen-momen besar seperti Lebaran, namun data parkir yang tidak jauh berbeda dengan tahun lalu, tidak mencerminkan peningkatan penjualan yang signifikan. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran tren belanja dan dampak ekonomi yang nyata terhadap daya beli masyarakat. Para pedagang, seperti Boy dari Blok B, mengalami penurunan penjualan yang signifikan, menunjukkan bahwa penurunan omzet bukan hanya disebabkan oleh persaingan dengan toko daring, tetapi juga karena daya beli masyarakat yang menurun.
Penurunan Penjualan di Tengah Keramaian
Menjelang Lebaran 2025, Pasar Tanah Abang tetap ramai dikunjungi pembeli. Namun, kenyataannya, aktivitas jual beli tidak seramai tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terlihat dari pengakuan pedagang di berbagai blok, yang mengalami penurunan omzet yang cukup signifikan. Boy, seorang pedagang di Blok B, mengatakan bahwa stok bajunya masih banyak yang belum terjual, berbeda dengan tahun lalu di mana barangnya hampir habis terjual lima hari sebelum Lebaran.
Penurunan omzet yang dialami Boy mencapai hampir 50 persen. Ia hanya mampu mencapai Rp600 juta, jauh di bawah capaian tahun lalu yang mencapai Rp1 miliar per toko. Jumlah penjualan juga menurun drastis, dari 18.000 potong menjadi kurang dari setengahnya. Kondisi ini menunjukkan adanya penurunan daya beli masyarakat yang cukup signifikan, bukan hanya sekedar persaingan dengan toko daring.
Meskipun pengelola Pasar Tanah Abang Blok A, Heri Supriyatna, menyatakan bahwa jumlah pengunjung tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya berdasarkan data jumlah kendaraan yang parkir, data tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi penjualan. Data penjualan yang dilaporkan para pedagang menunjukkan penurunan yang signifikan, menunjukkan adanya disparitas antara jumlah pengunjung dan aktivitas transaksi jual beli.
Data parkir mungkin tidak akurat sepenuhnya karena belum tentu semua pengunjung melakukan transaksi pembelian. Oleh karena itu, data penjualan dari para pedagang menjadi indikator yang lebih akurat untuk menggambarkan kondisi pasar.
Dampak Deflasi dan Penurunan Daya Beli
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indonesia mengalami deflasi pada awal 2025, yang pertama kalinya dalam 25 tahun. Deflasi ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk diskon tarif listrik dan penurunan harga beberapa komoditas pangan. Namun, Guru Besar bidang Ilmu Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Anton Agus Setyawan, menyatakan bahwa deflasi ini juga dipengaruhi oleh penurunan daya beli masyarakat.
Penurunan daya beli ini berdampak pada sektor ekonomi Indonesia, terutama sektor perdagangan dan jasa. Anton juga mencatat bahwa hampir 14.000 pekerja formal kehilangan pekerjaan akibat penurunan di sektor manufaktur pada awal 2025. Hal ini berdampak pada pendapatan rumah tangga dan semakin memperburuk daya beli masyarakat.
Ekonom dan Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai penurunan daya beli ini sebagai tantangan yang harus segera diatasi. Data BPS menunjukkan penyusutan jumlah penduduk kelas menengah, yang mengindikasikan ketidakpastian ekonomi bagi jutaan individu tanpa bantuan signifikan dari pemerintah. Kondisi ini semakin memperkuat argumentasi bahwa penurunan daya beli menjadi faktor utama penurunan penjualan di Pasar Tanah Abang.
Kesimpulannya, penurunan penjualan di Pasar Tanah Abang pada Lebaran 2025 tidak hanya disebabkan oleh persaingan dengan toko daring, tetapi juga oleh penurunan daya beli masyarakat yang signifikan. Hal ini menunjukkan dampak ekonomi yang luas dan perlu menjadi perhatian pemerintah untuk segera mencari solusi.